Logo Bloomberg Technoz

“Dalam beberapa dekade terakhir, sektor pariwisata dan kreatif dinilai menjadi salah satu penyebab meningkatnya emisi gas dan rumah kaca yang berdampak pada perubahan iklim, komersialisasi budaya bersifat eksklusif dan tidak berpihak pada masyarakat lokal serta berperan dalam kerusakan ekologis,” ungkapnya. 

Merespon hal tersebut, Sapta Nirwandar, Kepala Indonesia Tourism Forum, mengungkapkan bahwa dalam pembangunan pariwisata berkelanjutan juga diperlukan manajemen yang berkolaborasi antar sektor dan bersifat publik. 

“Menurut saya ini sangat penting karena pariwisata itu bersifat multisektor dan kita sering kerja sama. Jadi, mengubah tata manajemen tradisional yang penuh jargon dengan model manajemen baru, menjadi public administration, dan didukung oleh teknologi informasi,” jelasnya. 

Di sisi lain, Ketua Dewan Kepariwisataan Berkelanjutan Indonesia (ISTC), Mari Elka Pangestu menyoroti tren wisatawan yang mulai mengarah kepada pariwisata berkelanjutan, terutama sejak pandemi Covid-19 berlangsung. 

“Pariwisata berkelanjutan saat ini bukan hanya diperlukan karena dampak pariwisata pada iklim tapi telah terjadi tren wisatawan yang berarah kepada pariwisata berkelanjutan," ucap Mari Elka.

"Sejak, pandemi, telah berubah preferensi ke pariwisata yang tidak penuh keramaian, jarak yang dekat atau bisa ditempuh dengan pengeluaran karbon yang rendah, atraksi dan destinasi yang aman dari segi kesehatan dan kebersihan dan juga destinasi yang berkelanjutan,” ungkapnya. 

Mari menyebutkan bahwa  63% wisatawan bersedia membayar lebih mahal untuk wisata berkelanjutan dan 83% wisatawan menganggap pariwisata berkelanjutan sebagai hal yang vital. 

“Jika kita tidak melakukan pariwisata berkelanjutan secara holistik, maka kita akan tertinggal dan kehilangan kekayaan sumber daya alam dan kekayaan sosial budaya, belum lagi merusak branding Indonesia. Ini dapat menjadi lost opportunity,” tutupnya.

(wep)

No more pages