Logo Bloomberg Technoz

E-Commerce: Bukan Lagi Growth, Sudah Saatnya Cuan


Ilustrasi belanja online (dok. envato)
Ilustrasi belanja online (dok. envato)

Bloomberg Technoz, Jakarta - Peran perdagangan berbasis teknologi atau e-commerce sudah begitu melekat, hampir tidak bisa terpisahkan dari kehidupan masyarakat, terutama di perkotaan. Ke depan, prospek bisnis ini diperkirakan masih akan cerah.

Kehadiran e-commerce mengubah peta industri, misalnya ritel. Mengutip laporan US Department of Agriculture, penjualan kebutuhan sehari-hari (groceries) di supermarket selama periode 2020-202 rata-rata turun 6,02% per tahun. Di hipermarket koreksinya jauh lebih tajam yaitu 17,29% per tahun.

Di sisi lain, penjualan makanan melalui e-commerce melesat dengan rerata pertumbuhan mencapai 67,31% per tahun.

Sumber: USDA

Pesatnya pertumbuhan e-commerce juga terekam dalam riset Citi yang berkolaborasi dengan Cube Asia dengan judul Profitable Pathways: Rethinking Growth Strategies in eCommerce. Dalam riset tersebut, disebutkan bahwa penjualan e-commerce di Asia Tenggara meningkat dengan laju yang sangat signifikan.

“Penjualan online di Asia Tenggara kemungkinan bisa menyentuh US$ 190 miliar pada 2024. Melesat lebih dari 20 kali lipat dalam 10 tahun terakhir,” sebut riset itu.

Pasar e-commerce di kawasan ini tumbuh rata-rata 45% per tahun selama 2012-2021. Namun selepas masa pandemi Covid-19, laju pertumbuhan sepertinya sudah mencapai puncak (mature) dan akan melambat ke kisaran 12-16% per tahun hingga 2027, mengingat basis yang sudah sangat tinggi.

Meski demikian, pelaku usaha e-commerce masih optimistis terhadap bisnis mereka. Berdasarkan survei, rata-rata 21% responden memperkirakan penjualan akan tumbuh.

Sumber: Cube Asia

Ada beberapa faktor yang melandasi keyakinan tersebut. Pertama, memang secara umum pertumbuhan penjualan e-commerce diperkirakan di rentang 12-16%, tetapi di segmen tertentu kenaikannya akan lebih cepat.

Kedua, banyak perusahaan yang kemudian mengedepankan penjualan online saat dan setelah pandemi Covid-19. Hasil yang mengesankan membuat mereka tidak akan meninggalkan penjualan online.

Ketiga, hampir semua perusahaan berpandangan bahwa mereka bisa lebih baik dari pesaingnya. Jadi walau pasar hanya tumbuh 15%, mereka akan menargetkan lebih tinggi dari itu.

Memang betul bisnis penjualan online tumbuh pesat. Namun bukan berarti sudah membawa cuan.

Survei menunjukkan bahwa hanya dua pertiga perusahaan yang mengaku sudah mendapat keuntungan pada 2023. Paling banyak hanya mendapat laba tipis, dicerminkan dengan Earnings Before Interest, Tax, Depreciation, and Amortization (EBITDA) 0-5%. Lebih dari separuh mengungkapkan belum mendapat keuntungan, setidaknya di salah satu channel mereka.

Sumber: Cube Asia

Oleh karena itu, wajar jika para pelaku usaha memilih untuk menahan diri setelah bisnis mereka mencapai skala tertentu, Mayoritas responden (59%) menilai perlu ada keseimbangan, di mana upaya menuju profitabilitas harus dikedepankan setelah mencapai skala bisnis yang lebih tinggi. Meski langkah itu bisa menyebabkan mereka tidak bisa mencapai potensi tertinggi.

Sumber: Cube Asia

Sepertinya era bisnis e-commerce yang semata-mata mencari pertumbuhan memang sudah berlalu. Saat ini, perlu ada strategi menghadapi situasi yang makin kompleks.

Tantangan yang dirasa makin besar adalah tingginya biaya pemasaran dan anggaran/dana yang berkurang. Sementara kenaikan biaya platform dan operasional menjadi kendala terbesar dalam meraih keuntungan.

Sumber: Cube Asia

Jadi, bagaimana para pelaku usaha e-commerce merespons berbagai tantangan tersebut? Berikut adalah 4 strategi utamanya:

1.Perubahan pemasaran digital

Tantangan utama yang dihadapi adalah kian mahalnya biaya yang dikenakan kepada penjual di platform e-commerce utama. Strategi yang dilakukan adalah menjelajahi saluran baru seperti iklan di TikTok dan mengedepankan para affiliate. Kemudian, dilakukan pula pemasaran yang lebih menyasar ke segmen dengan potensi besar (targeting). Tujuannya adalah menurunkan investasi pemasaran ke segmen yang tidak mendatangkan keuntungan.

2. Mengejar pertumbuhan yang berkualitas

Para pelaku usaha e-commerce akan lebih berfokus kepada produk yang mendatangkan pemesanan besar, tahan lama alias awet, dan tidak perlu menurunkan harga untuk menjualnya.

3. Melakukan kombinasi

Di Asia Tenggara, penjualan e-commerce masih berpusat pada pemain besar seperti Shopee dan Lazada. Lebih dari 80% responden menjual barang mereka di salah satu platform tersebut. Tahun ini, perlu ada kombinasi karena peningkatan biaya yang dikenakan kepada penjual. Sudah banyak yang mencoba saluran baru seperti TikTok Shop. Saluran lain yang juga berkembang adalah situs perusahaan yang langsung menjual ke konsumen (Direct to Consumer/DTC), meski sebagian besar konsumen masih cenderung berbelanja di platform marketplace.

4. Efisiensi biaya

Peningkatan biaya dan persaingan ketat memaksa pelaku usaha untuk melakukan efisiensi. Meskipun kemajuan ini membawa harapan besar, namun pelaku usaha harus menanggung biaya jangka panjang untuk merekrut tim yang dapat memelihara dan meningkatkan teknologi guna memperoleh nilai dari model data.

Babak baru e-commerce di Asia Tenggara akan sangat menarik, sekaligus menantang. Memang ada potensi pasar yang mencapai US$ 95 miliar pada 2027, tetapi mencapainya akan butuh usaha besar.

Permintaan sumber daya manusia e-commerce akan tetap tumbuh, tetapi dengan perubahan pola pikir. Sekarang adalah saatnya sumber daya manusia yang bisa menyeimbangkan antara pertumbuhan dan keberlangsungan usaha. Pertumbuhan harus berkualitas.

(tim)

Artikel Terkait