Dia menjelaskan saat ini PE sawit berada di kisaran US$75/ton - US$95/ton, tergantung harga CPO internasional. Sementara itu, harga biosolar sawit sangat tinggi, sehingga terdapat dana yang dikelola BPDP untuk membayar selisih harga dengan solar impor.
Popsi mengingatkan dana BPDP sudah terkuras banyak. Kemudian program untuk petani sawit tersendat dan akan habis pada pertengahan 2026. Di saat bersamaan, pemerintah berancang-ancang menaikkan PE dan akan berdampak langsung pada harga Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani.
Berdasarkan Studi Serikat Petani Kelapa Sawit pada 2018, setiap kenaikan PE sebesar US$50/ton berkontribusi terhadap penurunan harga TBS petani sekitar Rp435/kilogram. Artinya, setiap tambahan beban pungutan akan langsung menggerus pendapatan petani.
Anggota Popsi yang juga Ketua Umum Apkasindo Perjuangan, Alvian Rahman, menegaskan petani selalu menjadi pihak yang menanggung dampak akhir kebijakan.
“Petani tidak menikmati langsung program biodiesel, tetapi selalu diminta membayar mahal melalui turunnya harga TBS. Ini ketimpangan kebijakan yang terus berulang,” tutur Alvian.
Sementara itu, Kepala Pusat Pangan, Energi dan Pembangunan Berkelanjutan Institute for Development of Economics and Finance, (Indef) Abra Talattov menuturkan wacana implementasi B50, sebaiknya diambil setelah dilakukan evaluasi terhadap peraturan presiden (Perpres) No. 132 tahun 2024.
“Kita harus memahami bahwa kondisi saat ini berbeda dibandingkan saat kebijakan sebelumnya diterapkan,” ujar Abra.
Solusi Kebijakan
Popsi menegaskan organisasi petani tidak menolak program biodiesel, namun menuntut agar kebijakan tersebut didesain ulang secara adil, realistis dan dievaluasi secara menyeluruh.
Mansuetus Darto mengungkapkan Popsi mengusulkan beberapa langkah solusi yakni program biodiesel nasional perlu dirancang lebih adaptif dan berkelanjutan serta menyeimbangkan kepentingan energi, fiskal, dan sektor hulu perkebunan sawit.
Menurutnya, salah satu opsi kebijakan yang dapat diambil pemerintah yakni penerapan subsidi biodiesel yang lebih terarah, hanya untuk sektor Public Service Obligation (PSO), dengan batas atas subsidi maksimal sekitar Rp4.000/liter.
“Pendekatan ini bertujuan menjaga keberlanjutan pendanaan BPDP sekaligus menghindari tekanan berlebihan terhadap harga Crude Palm Oil (CPO) dan TBS petani ketika terjadi lonjakan harga sawit global, sehingga mekanisme pasar tetap berjalan secara sehat,” tuturnya.
Selain itu, kebijakan bauran biodiesel perlu mengadopsi konsep fleksiblending, dengan B30 sebagai batas minimum dan penyesuaian tingkat blending dilakukan secara dinamis. Ketika harga CPO meningkat signifikan dan berpotensi membebani subsidi, tingkat pencampuran biodiesel dapat diturunkan ke batas minimum tersebut.
Sebaliknya, ketika harga CPO melemah dan harga minyak fosil meningkat, blending dapat dinaikkan secara bertahap ke B40 atau lebih tinggi guna meningkatkan daya saing biodiesel dan memperluas serapan CPO domestik.
Lebih lanjut, peningkatan bauran biodiesel seyogianya dikaitkan langsung dengan kinerja produksi dan produktivitas sawit nasional. Seiring perbaikan produktivitas dan kenaikan produksi CPO nasional—misalnya menuju 50 juta ton atau hingga 60 juta ton per tahun—maka berpeluang untuk meningkatkan bauran biodiesel bisa menjadi pilihan kebijakan.
Melalui pendekatan ini, Popsi menilai program biodiesel tidak hanya bermanfaat sebagai instrumen transisi energi, tetapi juga sebagai langkah kebijakan dalam menopang stabilitas sektor sawit, meningkatkan nilai tambah domestik, serta memberikan manfaat yang lebih seimbang bagi petani, industri, dan negara.
“BPDP tidak boleh menjadi satu-satunya penanggung biaya B50. Harus ada pembagian beban yang jelas antara BPDP, negara, dan peningkatan efisiensi industri, dengan batas maksimal kontribusi BPDP agar dana petani tetap terlindungi,” imbuhnya.
(ain)































