Lewat bahan presentasi PLN yang dilihat Bloomberg Technoz, kenaikan ceilling tarif PLTSa itu menjadi konsekuensi dari rencana pemerintah untuk menghapus beban tipping fee atau pengelolaan sampah di tingkat pemerintah daerah.
Di sisi lain, Darmawan menerangkan, kapasitas setrum dari program pengolahan sampah itu relatif terbatas untuk masuk ke jaringan listrik PLN.
Dia beralasan kapasitas maksimal yang bisa dihasilkan dari PLTSa itu hanya mencapai 20 megawatt (MW), dengan asumsi timbunan sampah yang diolah mencapai 1.000 ton.
“Sebenarnya pembangkit yang sangat kecil untuk PLN, jadi untuk hal ini, sesuai dengan arahan Presiden Republik Indonesia [Prabowo],” kata Darmawan.
Di sisi lain, dia berharap, program PLTSa itu secara teknis dan komersial layak untuk dijalankan.
Aspek kelayakan komersial itu menjadi krusial lantaran PLN bakal menjadi pembeli tunggal dari listrik yang dihasilkan pengembang swasta.
“Jika layak secara teknis dan komersial, kami berharap PLTSa segera diesekusi dan pengembangan pembangkitnya akan cepat,” tuturnya.
Rencanannya, beban tipping fee yang selama ini dibayar pemerintah daerah akan diidentifikasi sebagai ongkos produksi listrik yang akan tecermin dalam tarif listrik yang disetujui bersama dengan PLN.
Konsekuensinya, tipping fee yang selama ini dibayar lewat skema anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) di tingkat pemerintah daerah akan langsung menjadi beban yang ditanggung PLN.
Teknologi Incineration
Sementara itu, pemerintah belakangan mendorong adopsi teknologi incineration pada pengembangan PLTSa, dari sebelumnya bertumpu pada teknologi gasifier.
Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung mengatakan teknologi itu lebih efektif untuk membakar sampah yang kemudian bakal menjadi energi panas.
“Jadi yang paling efektif itu adalah incineration, ini sudah mulai konstruksi mereka [pengembang],” kata Yuliot saat ditemui di Jakarta, Selasa (30/9/2025).
Pemilihan teknologi incineration itu dianggap lebih efektif ketimbang teknologi sebelumnya gasifier, yang dipakai pada proyek PLTSa Benowo di Surabaya dan PLTSa Putri Cempo di Surakarta.
Menurut keterangan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN, teknologi gasifier terbilang sensitif terhadap jenis sampah.
Sampah yang diterima padahal relatif heterogen, sehingga realisasi capacity factor atau rasio setrum yang dihasilkan relatif rendah pada dua PLTSa tersebut.
Sementara itu, teknologi incineration relatif mampu menerima hampir semua jenis sampah, dengan ketahanan yang lebih stabil.
Sampai dengan semester I-2025, PLN telah menadantangani PJBL untuk PLTSa Palembang, PLTSa Sunter, PLTSa Surabaya dan PLTSa Surakarta.
Hanya 2 PJBL yang telah beroperasi di antaranya PLTSa Putri Cempo di Solo berkapasitas 5 megawatt (MW) dan PLTSa Benowo di Surabaya berkapasitas 9 MW.
(naw/wdh)





























