Logo Bloomberg Technoz

Penurunan terbaru ekspor Jepang terjadi saat perusahaan-perusahaan di seluruh dunia terus menanggung dampak kebijakan perdagangan Trump.

Bagi Jepang yang bergantung pada ekspor, dampak kebijakan dagang ini mengancam pertumbuhan ekonomi yang masih rapuh, berrisiko menggagalkan siklus positif antara inflasi, kenaikan upah, dan pertumbuhan yang diharapkan otoritas.

"Dengan tarif baru AS sebesar 15% untuk mobil dan produk-produk lain, pertanyaannya bagaimana perusahaan-perusahaan Jepang akan merespons ke depannya," kata Takeshi Minami, Kepala Ekonom Norinchukin Research Institute.

"Perusahaan di luar produsen mobil mungkin juga mencoba menanggung dampak tarif melalui pemangkasan biaya. Jika hal itu terjadi, laba akan menurun, memberikan tekanan pada usaha kecil dan menengah, yang dapat mempersulit kenaikan upah."

Penurunan ekspor secara keseluruhan didorong oleh penurunan nilai pengiriman ke AS sebesar 13,8%, di mana mobil sebagai faktor utama. Ekspor ke China tergelincir 0,5%, sedangkan pengiriman ke Eropa melejit 5,5%.

Tarif tinggi dari pemerintahan Trump terus mengganggu perdagangan global, meski kesepakatan telah tercapai. Pada akhir Juli, AS setuju menurunkan tarif impor mobil Jepang menjadi 15% dari 27,5%, dan tidak menambahkan tarif sebelumnya pada tarif universal baru sebesar 15%. Namun, perubahan ini baru berlaku pada 16 September.

Pada Agustus, AS tetap menjadi tujuan ekspor terbesar Jepang setelah China. Nilai pengiriman mobil ke AS amblas 28,4%, sementara jumlah unit turun 9,5%—pola yang menunjukkan produsen mobil Jepang terus memangkas harga demi mempertahankan pangsa pasar di AS.

Langkah ini mengurangi margin keuntungan mereka, yang dapat menghambat mereka untuk terus menaikkan upah dengan laju yang sama seperti dua tahun terakhir.

Pukulan terhadap keuangan perusahaan bisa menjadi masalah bagi Bank of Japan (BOJ) saat terus mencari peluang untuk menaikkan suku bunga acuan secara bertahap. Pertumbuhan upah yang kuat menjadi faktor kunci di balik langkah-langkah normalisasi kebijakan BOJ sejauh ini. Dengan inflasi yang sudah di atau di atas target 2% selama lebih dari tiga tahun, spekulasi mengenai kenaikan suku bunga terus berlanjut.

Ekspor baja ke AS, yang terus dikenai tarif 50%, merosot 26,2% dari segi nilai, tetapi naik sedikit dalam hal volume. Indikasi lain bahwa eksportir mungkin menanggung sebagian dampak tarif melalui penurunan harga.

Ekspor semikonduktor dan farmasi masing-masing turun 12,4% dan 12,8%. Sebagai bagian dari kesepakatan Juli, AS memberi Jepang klausul keamanan terkait tarif sektoral di masa depan yang memengaruhi industri-industri tersebut. Artinya, Jepang tidak akan diperlakukan lebih keras daripada negara lain. 

Kesepakatan dagang Juli memberi sedikit keringanan bagi eksportir Jepang, terutama produsen mobil. Namun, apakah tarif baru akan tetap berlaku bergantung pada sejauh mana Tokyo menerapkan mekanisme investasi senilai US$550 miliar, pilar utama kesepakatan perdagangan. Jika Jepang gagal mendanai proyek melalui mekanisme tersebut, Trump akan kembali mengerek tarif barang-barang Jepang. 

Jepang mengalami surplus perdagangan sebesar ¥324 miliar terhadap AS. Artinya, Negeri Matahari Terbit ini akan terus di bawah tekanan Trump untuk menutup defisit tersebut, yang telah lama dikritik Presiden AS.

Seiring implementasi perjanjian perdagangan bilateral, Jepang terus menghadapi tekanan berkelanjutan dari AS untuk berbuat lebih banyak melalui cara-cara non-bilateral.

AS mendesak sekutunya di G7, termasuk Jepang, untuk memberlakukan tarif tinggi terhadap China dan India karena membeli minyak Rusia, guna meyakinkan Presiden Vladimir Putin untuk mengakhiri perang di Ukraina.

(bbn)

No more pages