Dicky juga mengingatkan bahwa pintu antar-gerbong yang kerap terbuka, sistem sirkulasi udara yang terhubung, serta mobilitas penumpang akan membuat kontaminasi asap mustahil dibatasi di satu gerbong.
Bahkan penggunaan rokok elektrik atau vape tidak lebih aman, karena uap aerosolnya juga meninggalkan residu berbahaya dan berpotensi menimbulkan risiko kebakaran akibat baterai.
Menurutnya, dari sisi operasional, kebijakan tersebut akan menambah beban biaya—mulai dari pembersihan intensif, monitoring kualitas udara, hingga potensi sengketa hukum jika ada penumpang terdampak. “WHO sudah jelas: transportasi umum harus 100% bebas asap rokok. Gerbong khusus merokok hanya membuka celah pelanggaran dan masalah baru,” tegasnya.
Dicky menyarankan agar pemerintah dan operator transportasi memperkuat penegakan aturan larangan merokok di kereta, bus, maupun moda transportasi publik lain, termasuk menyediakan area merokok di luar stasiun pada ruang terbuka dan jauh dari jalur pejalan kaki.
“Kebijakan terbaik tetap 100% bebas asap rokok. Bukan hanya melindungi kesehatan publik, tapi juga menjamin keselamatan kerja petugas dan kenyamanan penumpang,” ujarnya
(fik/spt)

































