Pada tahun ini, pemerintah juga telah mulai menyusun kajian pengukuran dan pemetaan shadow economy, termasuk penyusunan Compliance Improvement Program (CIP) serta analisis intelijen dalam mendukung penegakan hukum terhadap wajib pajak (WP) berisiko tinggi.
"Pemerintah juga akan melakukan kajian intelijen dalam rangka penggalian potensi shadow economy tersebut," papar dokumen itu.
Sejumlah langkah yang telah dilakukan juga meliputi proses integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), yang juga telah efektif dalam implementasi sistem Coretax sejak awal tahun.
DPR akan Bahas Shadow Economy
Merespons hal tersebut, Badan Anggaran (Banggar) DPR mengatakan rencana itu hingga saat ini masih belum dibahas secara detail antara pemerintah dan legislator. Tetapi, dia memastikan akan segera membahas lebih lanjut ke depan.
"Sampai saat ini belum ada pembahasan di Banggar, tunggu saja. Akan kita bahas di Panja (panitia kerja)," ujar Ketua Banggar DPR Said Abdullah kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa kemarin.
Meski begitu, Said memastikan rencana kebijakan pengetatan pengawasan shadow economy tersebut tidak akan mengganggu aktivitas usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
"UMKM tidak pernah disentuh selama ini selain pengenaan pajak 0,5% saja. Tidak pernah berubah kalau itu," tutur dia.
Dalam RAPBN 2026, pemerintah sendiri juga telah menetapkan target penerimaan pajak dan belanja pemerintah pusat yang mengalami kenaikan yang cukup signifikan.
Penerimaan pajak dipatok mencapai Rp2.357,6 triliun, atau mengalami kenaikan hingga lebih dari 13% dibandingkan target sepanjang tahun ini yang dipatok Rp2.076,9 triliun. Sementara, target pendapatan negara dipatok sebesar Rp3.147,7 triliun, naik dari outlook 2025 yang hanya Rp2.865,5 triliun.
(lav)
































