Logo Bloomberg Technoz

“BI kemungkinan akan mempertahankan suku bunga acuan di 5,25% pada 20 Agustus. Ini dilakukan demi memastikan rupiah tetap terjangkar di tengah kebijakan tarif Amerika Serikat (AS) yang akan mulai ‘menggigit’,” sebut Tamara Mast Henderson, Ekonom Bloomberg Economics.

USD/IDR (Sumber: Bloomberg)

Ya, tarif bea masuk yang diterapkan pemerintahan Presiden AS Donald Trump terhadap berbagai negara berlaku mulai 1 Agustus. Jadi, lanskap perdagangan dunia bisa berubah. 

Apalagi kalau negara yang jadi ‘korban’ memutuskan untuk membalas dengan mengganjar tarif bea masuk tinggi terhadap produk made in USA. Perang dagang dalam skala global akan terjadi, sehingga bisa mempengaruhi minat investor terhadap aset di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

BI, lanjut Henderson, juga perlu menyeimbangkan antara stabilitas nilai tukar rupiah dengan pertumbuhan ekonomi. Penurunan suku bunga acuan memang bisa berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi BI Rate baru saja diturunkan bulan lalu.

“Rupiah memang relatif stabil dengan penguatan sekitar 2,1% terhadap dolar AS pada bulan ini. Namun jika The Fed (Federal Reserve, bank sentral AS) tidak menurunkan suku bunga acuan dalam rapat bulan depan, maka kondisi bisa saja berbalik,” tegas Henderson.

Pada semester I-2025, tambah Henderson, pertumbuhan ekonomi Ibu Pertiwi sudah cukup solid. Bahkan pada kuartal II-2025 pertumbuhan ekonomi mencapai 5,12% secara tahunan, laju tercepat sejak kuartal III-2023.

“Inflasi inti juga terjangkar di 2,3-2,5% tahun ini, yang menandakan tekanan permintaan sudah berada di jalur yang benar. Target inflasi umum tahun ini adalah 1,5-3,5%,” tulis Henderson.

Bisa Turun Lagi

Satu dari sedikit  memperkirakan BI Rate bisa turun 25 bps menjadi 5% dalam RDG bulan ini adalah Fakhrul Fulvian, Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas. Menurutnya, kebutuhan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi bisa menjadi alasan penurunan BI Rate lebih lanjut.

“BI Rate bisa diturunkan ke level 4,5% tahun ini," kata Fakhrul.

Perang dagang, lanjut Fakhrul, justru bisa menyebabkan investor kurang berminat terhadap aset-aset berbasis dolar AS. Sebab, akan ada perubahan konstelasi neraca pembayaran di dunia sehingga berdampak pada perubahan aliran modal global.

"Dalam perang dagang, urgensi bagi negara surplus untuk berinvestasi dalam US Treasury jadi turun dan harus terjadi realokasi dari cadangan devisa. Itu akan menjadi hal kunci dalam penguatan rupiah dan pemotongan bunga acuan selanjutnya," jelas Fakhrul.

- Dengan asistensi Muhammad Julian dan Ruisa Khoiriyah -

(aji)

No more pages