Logo Bloomberg Technoz

Yang cukup menjadi perhatian, kenaikan saham DCII membuat valuasinya jauh melampaui saham Apple, yang di Wall Street sudah masuk kategori megacap, bukan lagi big cap.

Dengan laba bersih sekitar Rp198,1 miliar di periode April-Juni 2025, price to book value (PBV) saham DCII mencapai 207,69 kali, berdasarkan data Bloomberg. Price to earning ratio (PER) saham DCII bahkan mencapai 654,58 kali.

Apple Inc (AAPL) di periode yang sama mencetak laba bersih setara sekitar Rp386 triliun. Dengan laba sebesar itu, PBV saham Apple masih sekitar 52,66 kali. Sedang PER -nya ada di kisaran 32,13 kali.

Padahal, tingkat imbal hasil saham Apple masih lebih baik ketimbang DCII. Untuk return on equity (ROE) misalnya. Saham Apple memberikan ROE sekitar 149,81% per laporan keuangan kuartal terakhir. Kemudian, return on asset (ROA) saham Apple sebesar 29,94%. 

Bandingkan dengan DCII yang memiliki ROE 37,68%. Sedang ROA ada di level 23,42%.

Sebagai informasi, ROE merupakan indikator yang mengukur kemampuan perusahaan mengubah modal dari pemegang saham untuk menjadi laba. Sedang ROA mengukur kemampuan perusahaan mencetak laba dari setiap aset yang diinvestasikan.

Cuma memang, margin bisnis Apple masih kalah dengan DCII. Margin laba kotor DCII sekitar 49,08%. Sedang Apple sekitar 46,49%.

Saham Gorengan

Analis pasar modal sekaligus Founder Stocknow.id Hendra Wardana mengatakan, valuasi DCII acap kali menjadi perdebatan. Beberapa riset bahkan mencatat rasio price-to-earnings maupun market cap-to-revenue perusahaan ini sudah melampaui sejumlah raksasa global, seperti Apple.

“Pasar memberi harga sangat tinggi terhadap setiap rupiah pendapatan dan laba DCII, sehingga ekspektasi terhadap kinerja di masa depan sudah terpasang amat tinggi,” kata Hendra, dikutip Kamis (14/8/2025).

Hendra mengatakan DCII saat ini memiliki risiko tinggi, meski terdapat potensi penguatan hingga Rp320.000/saham. Pasalnya, potensi kenaikan atau upside dari harga saat ini sudah banyak terdiskon oleh valuasi yang premium, sehingga bila kinerja ke depan tak memenuhi ekspektasi, potensi koreksi harga bisa terjadi secara tajam.

Jika dilihat kinerja keuangan sepanjang semester I-2025, DCII membukukan laba bersih sebesar Rp616,9 miliar. Pendapatan perseroan mencapai Rp1,33 triliun per Juni 2025, naik 80,95% dibandingkan Rp737,3 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya. 

Kontributor utama berasal dari jasa colocation senilai Rp1,25 triliun, disusul pendapatan lain-lain sebesar Rp83,8 miliar. Dari total tersebut, pendapatan pihak ketiga tercatat Rp1,3 triliun, sedangkan dari pihak berelasi sebesar Rp27,9 miliar.

Beban pokok pendapatan DCII tercatat Rp539,3 miliar, meningkat 69,47% dari Rp318,2 miliar pada semester I/2024. Dengan capaian itu, laba bruto perseroan naik 89,66% menjadi Rp794,7 miliar, dibandingkan Rp419,07 miliar pada periode yang sama tahun lalu.

Meski demikian, Hendra mengingatkan harga saham tidak hanya dipengaruhi fundamental, melainkan juga sentimen pasar. Free float DCII yang relatif kecil membuat pergerakannya cenderung volatil.

“Hal ini memicu anggapan sebagian pihak bahwa DCII termasuk saham gorengan, bukan karena bisnisnya kosong, tetapi karena mekanisme penawaran-permintaan yang sempit dapat membuat harga melonjak di luar kewajaran valuasi,” jelasnya.

Senada, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Budi Frensidy mengatakan bahwa keanehan dalam pergerakan saham DCII. Menurutnya valuasi DCII sejak lama tergolong mahal, namun harga sahamnya justru terus merangkak naik.

“Lebih karena jumlah pemegang sahamnya yang sedikit yaitu tidak sampai 1.000 orang sepertinya,” kata Budi.

Dia juga mengungkapkan DCII rawat terkoreksi dan dapat menjadi pemberat IHSG ke depan. “Logikanya begitu,” imbuhnya.

(dhf)

No more pages