Logo Bloomberg Technoz

Untuk sebagai catatan saja, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan kinerja nilai ekspor pada Juni 2025 tercatat US$23,44 miliar atau naik 11,29% secara tahunan, dibanding Juni 2024.

Secara akumulatif, sepanjang Januari-Juni 2025, total nilai ekspor tercatat US$135,41 miliar atau naik 7,7% year-on-year.

Respons Kebijakan Moneter dan Fiskal Saja Tak Cukup

Pada bagian lain, Bank Indonesia (BI) sendiri telah merespons tekanan global dengan menurunkan suku bunga acuan menjadi 5,25%, guna menjaga daya beli masyarakat dan membuka ruang bagi pertumbuhan investasi domestik. Pemerintah juga menggulirkan stimulus fiskal untuk memperkuat konsumsi rumah tangga dan menjaga belanja negara tetap berjalan.

Namun, Syarifuddin menilai kebijakan moneter dan fiskal tidak akan cukup untuk mengatasi dampak jangka menengah dari penurunan ekspor.

"Ancaman tarif tidak bisa dilawan dengan moneter dan fiskal saja. Indonesia harus segera memperkuat daya saing produk ekspor dan memperluas akses ke pasar alternatif seperti Tiongkok, Eropa, dan Asia Selatan," ungkapnya.

Ekspor RI ke AS dibanding negara-negara pesaing (Sumber: Paparan Ketua DK LPS Purbaya Yudhi Sadewa)

Organisasi internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF) sebagaimana diketahui bahkan telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,7% pada 2025. Penurunan proyeksi ini dilandasi kekhawatiran terhadap pelemahan ekspor, turunnya investasi sektor tradable, dan menurunnya produksi manufaktur berorientasi ekspor.

Berkaca pada hal tersebut, Syarifuddin menegaskan Indonesia harus bergerak cepat untuk memastikan tekanan dari AS tidak menjebak negara dalam posisi pasif. Ia mendorong pemerintah untuk mengedepankan diplomasi ekonomi yang agresif agar kesepakatan dagang ke depan lebih berimbang dan saling menguntungkan.

"Indonesia tidak boleh menjadi pasar yang terbuka tanpa syarat, sementara produk-produknya dihambat masuk ke negara lain. Di sisi lain, industri dalam negeri membutuhkan perlindungan yang cerdas agar tidak tersingkir oleh arus barang impor," terangnya.

Dia juga menilai pertumbuhan ekonomi yang tangguh tidak cukup hanya bertumpu pada konsumsi rumah tangga. Diperlukan penguatan ekspor bernilai tambah, peningkatan investasi produktif, serta kemandirian industri yang kokoh agar Indonesia mampu berdiri di tengah gejolak eksternal.

Meski tantangan kian besar, ia masih melihat peluang bagi Indonesia untuk menjaga pertumbuhan di kisaran 4,7–5,0% hingga akhir tahun.

"Peluang ini hanya bisa diraih jika pemerintah mampu menjawab tantangan eksternal dengan strategi ekonomi yang tangguh dan berpihak pada kepentingan nasional. Pertumbuhan yang kita butuhkan bukan sekadar angka, melainkan kualitas dan ketahanan ekonomi yang mampu berdiri di atas kaki sendiri," pungkasnya.

(prc/roy)

No more pages