Logo Bloomberg Technoz

Adapun, program biodiesel turut didanai pemerintah melalui BPDPKS untuk menutup selisih atau disparitas harga antara produk CPO dan solar atau diesel yang menjadi bahan baku biodiesel. Dana ‘subsidi’ itu, berasal dari setoran PE CPO.

Lebih lanjut, BMI memandang kebijakan pengalihan ekspor CPO untuk pemenuhan bahan baku biodiesel domestik akan makin menggerus pendapatan negara dari pungutan PE CPO.

Efisiensi Anggaran 

BMI juga menyorot pemangkasan anggaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjadi Rp2,2 triliun dari Rp3,3 triliun. Anggaran yang dipotong itu dialihkan untuk membiayai program prioritas Presiden Prabowo Subianto.

Menurut BMI, pemangkasan anggaran tersebut mencerminkan pergeseran prioritas pemerintah termasuk dalam aspek pencapaian target transisi energi.

Walhasil, kata BMI, efisiensi anggaran berpotensi makin menghambat implementasi B50 pada 2026 sebab anggaran yang dimiliki pemerintah untuk mendanai program tersebut  kian terbatas.

Dalam jangka panjang, BMI memprediksi implementasi mandatori biodiesel di Indonesia dapat terhambat akibat ketatnya anggaran tersebut.

“Meskipun pemerintah belum secara eksplisit mengaitkan penundaan dalam pembangunan pabrik produksi biodiesel berskala besar dengan kendala ini, kami mencatat bahwa sumber daya anggaran yang terbatas mungkin telah berperan sebagai faktor pendorong,” tulis BMI.

“Kami memperkirakan Indonesia akan menghadapi hambatan finansial yang signifikan dalam memulai penggunaan campuran B50 pada 2026,” tegas BMI.

Untuk diketahui, Kementerian ESDM mensinyalir alokasi dana BPDPKS untuk pembiayaan produksi biodiesel tahun ini tidak lagi mencukupi dan akan segera dinaikkan.

Dalam kaitan itu, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mengungkapkan kementeriannya tengah meminta persetujuan tambahan alokasi dana dari BPDPKS kepada Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian.

Biodiesel itu, [selisih harga] dengan solar dan CPO-nya tinggi. Harga solar juga naik turun. Itu kan disparitasnya sampai Rp5.400/liter, bahkan bulan lalu itu sempat Rp6.400-an. Nah, di situ kan perlu ada tambahan anggaran,” ujarnya ditemui di kantor Kemenko Perekonomian usai rapat bersama BPDPKS, Rabu (23/7/2025).

Usulan tambahan anggaran tersebut, menurut Eniya, telah distujui di dalam rapat bersama tersebut dan tinggal menentukan besaran alokasinya saja. “Tinggal alokasi saja, jadi keputusan alokasi saja.”

Lebih lanjut, Eniya mengelaborasi kebutuhan biaya produksi biodiesel saat ini makin meningkat seiring dengan tahapan pengembangan yang telah mencapai B40 dan akan segera ditingkatkan menjadi B50.

Selain karena disparitas antara harga solar dan CPO yang makin lebar, dia mengatakan kenaikan pungutan ekspor CPO menjadi sebesar 10% juga berdampak pada turunnya setoran dana PE kepada BPDPKS yang digunakan untuk membiayai produksi biodiesel.

Terkait dengan kelanjutan target mandatori B50 pada 2026, Eniya belum bisa menyimpulkan. Kebijakan tersebut masih harus melalui persetujuan dari Menteri ESDM Bahlil Lahadalia.

“Itu nanti izin di Pak Menteri ESDM. Belum pembahasan sampai situ,” tuturnya.

Sekadar catatan, ‘subsidi’ biodiesel untuk program B40 pada tahun ini diproyeksikan sekitar Rp35,5 triliun, naik dari realisasi sepanjang 2023 senilai Rp26,23 triliun untuk menyokong program B35.

Alokasi ‘subsidi’ biodiesel pada 2025 hanya dibatasi untuk segmen public service obligation (PSO) sebanyak 7,55 juta kiloliter (kl) dari total target produksi B40 tahun ini sebanyak 15,6 juta kl.

(azr/wdh)

No more pages