Meskipun begitu, tingkat penanaman ulang atau replanting sawit di Indonesia masih dipandang belum maksimal. Sejak 2016, Indonesia membidik penanaman ulang sawit dengan mendistribusikan subsidi agar 2,5 juta hektare (ha) pohon kelapa sawit dapat ditanam ulang per 2025.
Namun, BMI memandang kebijakan peremajaan lahan perkebunan kelapa sawit itu sudah usang dan mandek akibat hambatan administratif dan subsidi yang tidak memadai. Pemerintah padahal telah menaikkan jatah anggaran Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dari Rp30 juta/ha menjadi Rp60 juta/ha pada 2024.
BMI menilai insentif tersebut belum cukup untuk mendorong kebijakan replanting pohon sawit nasional. Walhasil, hasil panen dan ketersediaan bahan baku minyak sawit Indonesia untuk jangka panjang berpotensi terkendala akibat hambatan tersebut.
“Kami memperkirakan tantangan fiskal yang berkelanjutan seputar ambisi biofuel Indonesia akan terus membatasi subsidi peremajaan lahan sawit, mengancam hasil panen, dan ketersediaan bahan baku minyak sawit dalam jangka panjang,” tulis BMI.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya mengklaim Indonesia tidak memerlukan tambahan lahan perkebunan kelapa sawit untuk bisa mengejar target mandatori biodiesel B50 pada awal 2026.
“Jadi kalau untuk kondisi B50 belum memerlukan tambahan lahan. Jadi ini kami koordinasikan dengan Kementerian Pertanian yang terkait dengan kecukupan bahan baku CPO ini. Kalau kita masuk ke B60 baru ada perlu penambahan lahan,” ujar Yuliot ditemui di kantornya, medio Mei.
Dia meyakini program peremajaan lahan sawit atau replanting saat ini sudah cukup untuk bisa menunjang ketersediaan minyak kelapa sawit mentah bagi bahan baku B50 ke depannya.
Kalaupun Indonesia terpaksa menambah lahan, dia memastikan luasnya tidak akan terlalu besar untuk menopang program B50.
Pernyataan Yuliot sedikit berubah dari yang pernah disampaikannya pada akhir Februari. Saat itu, dia memaparkan Indonesia bakal memerlukan penambahan lahan sawit seluas 2,3 juta ha untuk menopang program B50 pada 2026.
“Jadi untuk ke depan kami melihat untuk program B50, B60, sampai dengan B100 Ini akan memerlukan tambahan lahan [kelapa sawit] untuk penyediaan [CPO],” kata Yuliot di gedung DPD RI saat itu.
Nantinya, kata dia, pemerintah akan mengincar kebun masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan implementasi B50 sampai dengan B100.
“Nanti ini ada kebun-kebun masyarakat, ada kebun koperasi yang mungkin ini bisa kita dorong bagaimana pemenuhan untuk kebutuhan implementasi dari biodiesel sampai dengan B100,” tutur Yuliot.
Yuliot memaparkan implementasi B40 memerlukan produksi biofuel sebanyak 15,62 juta kiloliter (kl), sehingga membutuhkan kelapa sawit sebanyak 14,3 juta ton. Sementara itu, B50 memerlukan produksi 19,73 juta kl, dengan kebutuhan kelapa sawit 17,9 juta ton, dan tambahan lahan seluas 2,3 juta ha.
Kemudian, B60 membutuhkan produksi biofuel 19,73 kl, kebutuhan sawit 21,5 juta ton, dan penambahan lahan 3,5 juta ha. Adapun, B100 memerlukan produksi biofuel 39,45 juta kl, sawit 35,9 juta ton, dan penambahan lahan 4,6 juta ha.
Sekadar catatan, penerapan B40 sejatinya telah terlaksana mulai 1 Januari 2025, tetapi saat itu Kementerian ESDM menyatakan akan berlaku pada Februari 2025 karena ada masa transisi dari B35 menjadi B40.
(wdh)

































