Hari ini, jelang pengumuman kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2025, reli harga di pasar surat utang domestik diperkirakan akan berlanjut mengekor kelanjutan penurunan yield di pasar obligasi global.
Melihat data realtime Bloomberg, para traders di pasar global makin giat berburu US Treasury karena spekulasi penurunan bunga acuan tersebut. Yield UST-10Y kini sudah di level 4,194%, turun 2,2 bps. Sedangkan tenor 2Y stabil di 3,683%. Sementara UST-5Y turun 1,2 bps kini di 3,741%.
"Kami menduga yield 10Y SUN & INDON turun ke 6,40%-6,45% dan 5,05%-5,10% diikuti apresiasi rupiah ke rentang Rp16.250-Rp16.350 per dolar AS, hari ini," kata tim riset Mega Capital Sekuritas di antaranya Lionel Priyadi, Muhammad Haikal dan Nanda Rahmawati dalam catatannya pagi ini.
Reli harga obligasi global makin marak menyusul pernyataan dovish pejabat The Fed, setelah sebelumnya obligasi diburu pasca data tenaga kerja AS yang memburuk.
Gubernur The Fed San Francisco Mary Daly dalam pernyataan terbarunya seperti dilaporkan oleh Reuters, makin memberi penguatan pada ekspektasi penurunan bunga The Fed di sisa tahun ini.
"Saya bersedia menunggu siklus berikutnya, tapi saya tidak bisa menunggu selamanya," kata Daly ketika ditanya tentang keputusan The Fed pekan lalu.
Dua kali pemotongan suku bunga sebanyak 25 basis poin untuk tahun ini seperti yang terungkap dalam dot plot pertemuan Juni lalu, menurut Daly, tampaknya masih merupakan jumlah yang tepat.
"Tentu kami bisa melakukan kurang dari dua kali pemotongan jika inflasi meningkat dan meluas atau jika pasar tenaga kerja pulih. Saya pikir kemungkinan besar kita harus melakukan lebih dari dua kali menurut saya, kita juga harus siap melakukan lebih banyak lagi jika pasar tenaga kerja terlihat memasuki periode pelemahan dan kita masih belum melihat dampaknya terhadap inflasi," jelas Daly.
Di pasar swap, para traders menaikkan taruhan penurunan suku bunga The Fed pada pertemuan September nanti dengan probabilitas kini mencapai 94,4%.
Adapun untuk pertemuan The Fed pada bulan Oktober serta Desember, peluang penurunan bunga acuan mencapai masing-masing 67,6% dan 56,7%. Probabilitas itu meningkat dari sebesar 30,7% dan 20,2% pada pekan lalu.
Dengan berlanjutnya penurunan yield US Treasury, kini selisih imbal hasil dengan SUN menyempit jadi 227 bps, sedangkan dengan INDON, selisihnya makin kecil tinggal 86 bps. Kisaran yield spread itu mungkin masih cukup menarik bagi investor asing, terlebih dengan penguatan rupiah yang berlanjut.
Prospek BI rate
Reli harga SUN kemungkinan juga akan makin meriah terutama bila data pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang diumumkan siang nanti lebih buruk ketimbang perkiraan pasar.
Kondisi ekonomi domestik yang kian lemah akan memberi dorongan lebih besar bagi Bank Indonesia untuk melanjutkan lagi pemangkasan suku bunga acuan dengan lebih agresif, terlebih dengan dukungan lanskap global yang cenderung dovish.
Bunga acuan yang turun menjadi sentimen bagus bagi harga surat utang sehingga dana investor berpeluang menyasar aset pendapatan tetap yang dinilai lebih stabil.
Konsensus Bloomberg sampai pagi ini, menghasilkan angka median 4,8%. Dengan kata lain, pasar memperkirakan pertumbuhan PDB Indonesia pada kuartal II-2025 akan melambat dengan laju cuma 4,8%, lebih kecil dibanding kuartal sebelumnya sebesar 4,87%.
Bila perkiraan itu terealisasi, maka akan jadi laju PDB terlambat sejak 2021 silam. Sedangkan bila mengeluarkan periode resesi akibat pandemi pada 2020-2021, capaian tersebut akan jadi yang terburuk sejak 2009 lalu kala ekonomi domestik hanya tumbuh 4,7% terpukul efek krisis finansial global yang berpusat di AS.
Ekonom Bloomberg Economics Tamara Mast Henderson menilai, paparan dan penekanan hasil pertemuan Bank Indonesia pada Juli menunjukkan, Bank Indonesia akan agresif menurunkan suku bunga acuan lebih lanjut ke depan.
"BI memperluas alasan penurunan suku bunga di luar faktor rupiah dan telah membuka peluang penurunan bunga acuan lebih besar. BI juga mengindikasikan akan berusaha sekuat tenaga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Kami perkirakan akan ada penurunan BI Rate sebesar 25-50 bps lagi di semester dua tahun ini," kata Henderson.
Kondisi perekonomian domestik memang mengirim peringatan sehingga membutuhkan dukungan agar tak makin terperosok. Meski BI masih optimistis ekonomi RI di sisa tahun ini membaik sehingga bisa mengejar pertumbuhan antara 4,6-5,4%, ekonom menilai capaian laju PDB tahun ini akan sulit menyentuh 5% apalagi di atasnya.
"Tarif resiprokal 19% meski lebih rendah daripada semula, masih merupakan lonjakan pungutan yang cukup besar bagi eksportir dan konsesi yang diberikan [oleh Indonesia pada AS] akan membebani pertumbuhan," kata Henderson.
Nyatanya, perekonomian Indonesia sudah terseok-seok dalam kelesuan sebelum kebijakan tarif AS diumumkan. Konsumsi rumah tangga sampai saat ini belum mampu bangkit ke level prapandemi.
Maka, penurunan lebih lanjut bunga acuan ke depan untuk mendorong pertumbuhan, menjadi kebutuhan. "Penurunan di bulan ini hanya awal. BI rate bisa diturunkan ke level 4,5% tahun ini," kata Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Fakhrul Fulvian.
(rui)





























