"Proses ini berpotensi memunculkan resistensi kelembagaan, ketidaksinkronan data (misalnya data ganda atau tidak valid), dan tantangan teknis dalam menyatukan NIK, rekening, serta riwayat Bansos ke dalam satu profil keuangan berbasis Payment ID," ujar Arianto kepada Bloomberg Technoz, Selasa (29/7/2025).
Oleh karena itu, dia menekankan pentingnya keterlibatan Kementerian Komunikasi (Komdigi), Kemendagri, dan Bank Indonesia sebagai data steward atau pemberi perlindungan data dalam merancang peta jalan integrasi yang jelas dan terkoordinasi.
Lebih lanjut, Arianto juga menyoroti risiko privasi dan keamanan data pribadi penerima bansos jika seluruh transaksi ditelusuri melalui satu identitas. Lantaran di satu sisi, Payment ID menawarkan efisiensi dan transparansi. Namun di sisi lain, konsentrasi data dalam satu identitas meningkatkan kerentanan terhadap pelacakan perilaku finansial dan penyalahgunaan data.
"Jika tidak dijaga secara ketat, Payment ID dapat membuka ruang terjadinya pelacakan perilaku finansial warga penerima bansos secara berlebihan, termasuk untuk tujuan yang melampaui fungsi bansos. Risiko kebocoran data pribadi dan penyalahgunaan profil keuangan penerima bansos—yang umumnya termasuk kelompok rentan—menjadi sangat tinggi," jelasnya.
Dia menegaskan, sistem harus menerapkan prinsip minimisasi data, pembatasan tujuan, dan transparansi, sesuai dengan amanat Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) Nomor 27 Tahun 2022 dan praktik global seperti GDPR (Perlindungan Data Umum).
Di samping itu, Arianto juga mengingatkan inisiatif ini menyimpan risiko eksklusi digital, terutama bagi kelompok rentan seperti lansia, penyandang disabilitas, masyarakat adat, dan warga miskin non-bankable yang belum terhubung ke sistem pembayaran formal atau belum memiliki akses digital.
"Jika syarat menerima bansos sepenuhnya bergantung pada kepemilikan Payment ID—yang mensyaratkan NIK valid, keterhubungan ke sistem pembayaran, dan persetujuan digital—maka banyak warga bisa terpinggirkan dari hak bantuannya," terangnya.
Sebagai solusi, ia merekomendasikan pemerintah menyiapkan "Mekanisme onboarding inklusif melalui kanal fisik (misalnya dukungan bank Himbara dan PT Pos), penyuluhan literasi digital, serta skema verifikasi alternatif yang tidak mempersulit kelompok rentan."
Sebelumnya, BI akan menerapkan atau mencoba sistem Payment ID pada 17 Agustus 2025 yang mana pada tahap awal dilakukan untuk penerapan penyaluran bansos melalui verifikasi rekening penerima.
Kepala Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso juga menjelaskan bahwa akses terhadap Payment ID juga akan terbatas atau hanya dapat digunakan oleh otoritas yang berwenang dan harus melalui persetujuan pemilik data sesuai ketentuan yang berlaku (private consent based).
Di sisi lain, pengembangan dan penggunaan data Payment ID disebut akan tetap dilindungi dan tunduk sepenuhnya pada kerahasiaan data individu sebagaimana diatur dalam UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP).
"Dengan begitu, kami tegaskan bahwa penggunaan Payment ID di instrumen pembayaran masih membutuhkan waktu yang panjang melalui berbagai tahapan uji coba, termasuk keamanan data individu, dan harus dilengkapi dengan berbagai ketentuan dan peraturan yg mengacu pada UU PDP dan UU terkait lainnya yg telah ada," jelas Denny.
(lav)
































