Lanjutnya, BMKG mencatat bahwa periode akhir Juli hingga awal Agustus 2025 adalah fase krusial yang memerlukan perhatian lebih, terutama di kawasan Sumatera dan Kalimantan. Prediksi cuaca mengindikasikan bahwa potensi pertumbuhan awan di Sumatera berada pada tingkat tinggi antara 29–31 Juli, kemudian menurun sementara di awal Agustus, dan kembali meningkat pada 3–4 Agustus.
Di Kalimantan, pertumbuhan awan masih tergolong sedang hingga 30 Juli, namun mulai meningkat pada 31 Juli dan puncaknya tanggal 3-4 Agustus 2025. Pada saat-saat potensi pertumbuhan awan hujan renda dan Fire Danger Rating System (FDRS) tinggi, seluruh pemangku kepentingan daerah harus mengaktifkan sistem kewaspadaan darat, termasuk pemetaan wilayah rentan, mobilisasi sumber daya pengendalian, dan pencegahan kebakaran dini.
"Untuk mendukung upaya mitigasi, BMKG bersama BNPB, TNI AU, yang didukung Pemerintah Provinsi, telah melaksanakan OMC di sejumlah provinsi prioritas rawan karhutla, seperti Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Jambi, dan Kalimantan Barat. Rata-rata efektivitas penyemaian hujan di wilayah-wilayah tersebut mencapai tingkat keberhasilan 85 hingga 100 persen, dengan akumulasi curah hujan mencapai lebih dari 586 juta meter kubik," paparnya.
Di Provinsi Riau, jumlah titik panas (hotspot) yang mulanya 173 titik pada 19 Juli ditekan menjadi nol pada 28 Juli setelah OMC diterapkan sejak 21 Juli. Hal serupa juga tercatat di Sumatera Barat, yang mengalami penurunan dari 18 hotspot menjadi nol dalam waktu satu minggu. Selain itu, berkurangnya jumlah stasiun Tinggi Muka Air Tanah (TMAT) yang dalam kategori rawan di Riau dan Sumatera Selatan.
“Penurunan ini menandakan meningkatnya kelembaban tanah sebagai dampak positif dari keberhasilan OMC,”
Dwikorita menegaskan bahwa keberhasilan OMC hanya dapat tercapai jika kondisi atmosfer mendukung. Oleh karena itu, pemerintah daerah dan seluruh pihak yang terlibat dalam penanganan karhutla perlu memetakan titik-titik rawan secara rinci, menyusun kalender periode kritis berdasarkan kondisi lokal, dan menyiapkan berbagai skenario intervensi, baik yang berbasis cuaca (OMC, TMC) maupun non-cuaca (patroli, edukasi masyarakat, larangan pembakaran lahan).
"Ketika awan tidak terbentuk, maka penyemaian atau OMC tidak bisa dilakukan. Oleh karena itu, strategi pengendalian karhutla tidak boleh terpaku pada pendekatan tunggal dan harus berlapis," imbuhnya
Dwikorita menyarankan agar pengendalian karhutla dilakukan secara berlapis, berbasis data, dan adaptif terhadap cuaca. Mengingat keterbatasan OMC saat awan tidak terbentuk, kolaborasi lintas sektor dan peran aktif masyarakat menjadi penting untuk menjaga lahan, terutama saat puncak musim kemarau. Edukasi tentang bahaya karhutla, pengawasan berbasis teknologi, dan pengelolaan sumber daya alam perlu dilaksanakan secara konsisten. Pendekatan terpadu diperlukan untuk mengurangi risiko karhutla di tengah kondisi iklim yang semakin ekstrem.
"BMKG akan terus menyampaikan informasi peringatan dini dan analisis iklim terkini kepada pemerintah daerah, instansi terkait, dan masyarakat luas guna mendukung kebijakan pencegahan karhutla yang lebih presisi dan berdampak langsung di lapangan," pungkasnya.
(fik/spt)





























