Dalam pernyataan bersama usai pembicaraan, ketiga negara menyatakan menteri luar negeri dan menteri pertahanan mereka “diperintahkan untuk mengembangkan mekanisme rinci terkait pelaksanaan, verifikasi, dan pelaporan gencatan senjata. Mekanisme ini akan menjadi fondasi bagi perdamaian dan akuntabilitas jangka panjang.”
Pertemuan ini menandai dialog formal pertama sejak bentrokan terbaru pecah pada 24 Juli, menewaskan sedikitnya 36 orang dan memaksa lebih dari 150.000 warga sipil mengungsi di kedua sisi perbatasan sepanjang 800 kilometer tersebut. Ketegangan meningkat cepat selama akhir pekan hingga Senin, dengan laporan tembakan artileri berat dan serangan udara, sementara kedua belah pihak saling menuduh menyerang kawasan sipil.
Presiden AS Donald Trump mengatakan sebelum pembicaraan bahwa pemimpin Thailand dan Kamboja sepakat untuk “segera menyusun gencatan senjata.” Setelah panggilan terpisah dengan Phumtham dan Hun Manet pada Sabtu, Trump mengancam bahwa Washington tidak akan menandatangani kesepakatan dagang dengan keduanya selama pertempuran masih berlangsung.
Baik Phumtham maupun Hun Manet menyampaikan terima kasih kepada Anwar dan Trump, serta kepada China, atas peran mereka membantu tercapainya gencatan senjata.
Sebelum perundingan, Thailand bersikeras bahwa gencatan senjata harus mencakup penarikan pasukan, penghentian penggunaan senjata mematikan, dan kesepakatan untuk menyelesaikan konflik melalui mekanisme bilateral. Sebaliknya, Kamboja menghendaki penghentian permusuhan tanpa syarat.
Konflik saat ini berakar dari perselisihan lama terkait peta dan perjanjian era kolonial yang menetapkan batas kedua negara. Hubungan sempat stabil sejak bentrokan 2011 yang menewaskan puluhan orang, tetapi ketegangan baru memicu kekhawatiran akan eskalasi lebih lanjut.
Trump sebelumnya mengancam akan memblokir kesepakatan dagang dengan kedua negara jika kekerasan tidak berhenti. “Kami tidak akan membuat kesepakatan dagang kecuali kalian menyelesaikan perang,” kata Trump pada Minggu, menambahkan bahwa kedua pemimpin menyatakan kesediaan bernegosiasi setelah berbicara langsung dengannya.
Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengatakan pejabat AS telah berada di Malaysia untuk membantu upaya perdamaian tersebut. Perwakilan dari China, mitra dagang terbesar bagi kedua negara Asia Tenggara itu sekaligus pendukung utama Phnom Penh, juga ikut serta dalam pembicaraan Senin.
Dengan tenggat tarif Trump pada 1 Agustus yang semakin dekat, Thailand yang sangat bergantung pada perdagangan berusaha menghindari langkah yang dapat memicu kemarahan presiden AS, terutama saat pejabatnya sedang berunding untuk menurunkan bea 36% atas ekspornya. Trump sebelumnya mengeklaim keberhasilan menghentikan bentrokan perbatasan India-Pakistan awal tahun ini lewat tekanan dagang, klaim yang dibantah India namun diakui Pakistan.
Pembicaraan dagang Thailand dan AS mencakup tawaran memperluas akses bagi produk Amerika untuk mempersempit surplus perdagangan senilai US$46 miliar. Negara tetangga seperti Indonesia, Filipina, dan Vietnam sudah lebih dulu mengamankan kesepakatan dagang dengan AS dalam beberapa pekan terakhir.
“Tekanan Presiden Trump tampaknya berhasil karena baik pemerintah Thailand maupun Kamboja sedang menghadapi kesulitan ekonomi,” kata Tita Sanglee, peneliti di ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura. “Kegagalan menurunkan tarif Thailand akan berbiaya politik tinggi.”
Namun ia menambahkan, menerima kesepakatan gencatan senjata sementara ancaman Kamboja membawa sengketa wilayah ke Mahkamah Internasional masih menggantung kemungkinan besar sulit diterima publik dan militer Thailand.
Kamboja sebelumnya menyatakan ingin pengadilan internasional membantu menyelesaikan status empat wilayah perbatasan yang disengketakan, setelah baku tembak pecah pada Mei. Thailand tidak mengakui yurisdiksi pengadilan tersebut.
(bbn)






























