Setelah melakukan panggilan telepon terpisah dengan Phumtham dan Hun Manet pada Sabtu, Trump mengancam Washington tidak akan membuat kesepakatan dagang dengan kedua negara selama pertempuran terus berlanjut.
Ancaman tersebut memicu serjumlah aktivitas diplomatik pada Minggu. Anwar akhirnya berhasil meyakinkan kedua belah pihak setuju untuk bertemu. Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio juga berbicara dengan Menteri Luar Negeri Thailand dan Kamboja, mendesak mereka untuk segera meredakan ketegangan sambil menawarkan bantuan AS selama perundingan mendatang.
Berbicara kepada wartawan sebelum bertemu dengan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen pada Minggu, Trump mengakui adanya panggilan telepon dengan kedua pemimpin tersebut.
"Saya menelepon perdana menteri masing-masing negara dan saya berkata, "kita tidak akan menandatangani perjanjian dagang kecuali kalian menyelesaikan perang.' Banyak orang tewas," kata Trump. "Dan saya pikir saat saya selesai berbicara, saya pikir mereka sekarang ingin menyelesaikannya."
Dengan tenggat waktu tarif Trump yang semakin dekat pada 1 Agustus, Thailand yang bergantung pada perdagangann tak ingin menentang Presiden AS, terutama karena para pejabatnya telah mengadakan perundingan guna menurunkan tarif tinggi 36% yang direncanakan atas ekspornya.
Trump mengklaim berjasa dalam membantu menghentikan bentrokan perbatasan antara India dan Pakistan awal tahun ini, dengan memanfaatkan kebijakan perdagangan, dan kini menerapkan tekanan serupa di Asia Tenggara.
"Ketika semuanya selesai dan perdamaian sudah di depan mata, saya berharap bisa menandatangani Perjanjian Dagangan kami dengan keduanya!" ujar Trump di Truth Social setelah berbicara dengan pemimpin Thailand dan Kamboja pada Sabtu.
Perundingan dagang Thailand dengan AS mencakup penawaran perluasan akses bagi barang-barang Amerika guna mengurangi surplus dagang sebesar US$46 miliar dengan Washington. Negara-negara tetangga, Indonesia, Filipina, dan Vietnam telah mengamankan kesepakatan dagang dengan AS dalam beberapa pekan terakhir.
Fuadi Pitsuwan, dosen hubungan internasional di Universitas Thammasat di Bangkok, menyebut Thailand dan Kamboja tidak seharusnya mendapat tekanan Trump, dan seharusnya beralih ke ASEAN sebagai mediator alami untuk memediasi konflik jauh sebelum AS mengintervensi.
"Pada akhirnya, Trump kemungkinan akan membingkai situasi ini sebagai kemenangan: dia memaksakan gencatan senjata sambil memperoleh pengaruh" untuk menerapkan tarif yang bersifat sanksi.
Terlepas dari taruhan ekonominya, Thailand mengambil sikap tegas menjelang perundingan pada Senin. Para pejabat menyatakan gencatan senjata apa pun harus dikaitkan dengan penyelesaian sengketa secara bilateral, penarikan pasukan, dan penghentian penggunaan senjata mematikan. Kamboja, sebaliknya, menyatakan bersedia untuk gencatan senjata tanpa syarat.
Perundingan ini "dimaksudkan untuk mendengarkan semua proposal yang bisa berkontribusi pada pemulihan perdamaian," kata juru bicara Jirayu. "Pemerintah Thailand tetap berkomitmen untuk mempertahankan kedaulatan dan integritas teritorial negara. Setiap jengkalnya."
Konflik yang meningkat akibat ketegangan perbatasan yang berkepanjangan selama berbulan-bulan ini menewaskan lebih dari 30 orang dan memaksa lebih dari 150.000 warga sipil di kedua belah pihak mengungsi. Thailand melaporkan 22 korban jiwa, termasuk delapan tentara, sementara Kamboja mengonfirmasi 13 kematian, termasuk lima personel militer.
Tembakan artileri berat terus berlanjut pada Minggu melintasi perbatasan bersama kedua negara sepanjang 800 km. Kedua belah pihak saling menuduh menargetkan wilayah sipil dengan roket dan artileri. Thailand membalas dengan mengerahkan jet tempur F-16 dan Gripen buatan Swedia untuk menyerang pos militer Kamboja.
Thailand dan Kamboja memiliki sejarah sengketa perbatasan, meski hubungan kedua negara relatif stabil sejak bentrokan mematikan tahun 2011 yang menewaskan puluhan orang. Konflik besar terakhir berpusat di Kuil Preah Vihear, titik api bersejarah yang berakar dari perselisihan era kolonial.
Sebagian besar sengketa saat ini bermula dari peta yang dibuat berdasarkan interpretasi berbeda terhadap perjanjian Prancis-Siam pada awal abad ke-20, yang menetapkan batas antara Thailand dan Kamboja, yang saat itu merupakan bagian dari Indochina Prancis.
(bbn)


































