Pada perdagangan hari ini pukul 15.00 WIB, saham MERI bergerak turun 14,69% ke posisi Rp482 per saham setelah sebelumnya dibuka di level Rp680 per saham. MERI juga terpantau sempat berada di titik tertinggi yaitu Rp700 pada perdagangan hari ini.
Sebanyak 41,99 juta saham beredar dengan nilai Rp24,49 miliar. Kapitalisasi pasar MERI tercatat sebesar Rp498,93 miliar. Dalam catatan pemesanan (order book), antrean jual mencapai 653.028 lembar saham tanpa ada antrean beli.
Jejak Crazy Rich Surabaya di Bisnis MERI
Bos cat dan pemilik Depo Bangunan Hermanto Tanoko menjadi salah satu pemegang saham MERI melalui PT Tancorp Investama Mulia. Sebelum pelaksanaan IPO, porsi kepemilikan Tanoko sebesar 25%, namun pasca IPO porsi tergerus menjadi sebanyak 18,75%.
Tancorp menggenggam saham MERI bersama PT Mery Riana Indonesia yang mengempit 56,25% saham. Kepemilikan Alva Christopher Tjenderasa sebesar 80 lembar saham. Sementara saham yang beredar di masyarakat sebesar 25%.
Meski Tanoko menjadi salah satu pemegang saham mayoritas, Tanoko bukanlah penerima manfaat akhir MERI. Prospektus IPO mencatatkan Alva Christopher Tjenderasa dan Merry Riana sebagai beneficial owner.
IPO Kecil Rentan ‘Nyangkut’
Pengamat pasar modal dan Guru Besar Universitas Indonesia, Budi Frensidy, menyatakan bahwa pasar saham bukanlah tempat ideal bagi usaha kecil dan mikro untuk menghimpun dana. Ia menilai dominasi investor institusi membuat saham berkapitalisasi kecil kurang diminati.
“Pasar modal sejatinya memang bukan sarana yang pas menghimpun dana untuk usaha kecil dan mikro, kecuali mereka bersedia menyiapkan liquidity provider atau market maker,” kata Budi.
Bahkan saham dengan kapitalisasi hingga Rp1 triliun pun belum tentu menarik bagi investor besar, kecuali disertai penyedia likuiditas atau market maker, jelas dia.
Senada, Pengamat pasar modal Panin Sekuritas Reydi Octa menilai bahwa banyak dana investor ritel yang tersangkut di saham-saham IPO lantaran lemahnya kualitas emiten yang masuk ke bursa.
Menurut Octa, sejumlah perusahaan melakukan penawaran umum dengan valuasi yang terlalu tinggi tanpa dukungan fundamental yang solid, sehingga begitu masa euforia awal usai, harga saham langsung terjun dan kehilangan kepercayaan pasar.
“Setelah listing emiten seperti ini biasanya kesulitan membangun kepercayaan untuk ditahan jangka panjang. Akibatnya, banyak investor yang akhirnya terjebak dan dananya nyangkut,” ujarnya.
(wep)































