Produk polyester staple fiber (PSF) yang mereka ekspor ke AS sangat mungkin ditinggalkan buyer demi substitusi dari negara lain. Akibatnya, potensi penurunan pendapatan ekspor bisa mencapai 30%.
Sektor makanan dan minuman turut terancam. PT Mayora Indah Tbk (MYOR) dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) yang merupakan emiten milik Grup Salim. Kedua pemain besar yang mengekspor produk ke komunitas Asia-Amerika ini berpotensi kehilangan volume penjualan signifikan.
Produk mass market seperti mi instan atau biskuit cenderung sangat sensitif terhadap harga, dan tarif tambahan akan menurunkan daya saing.
Di sisi farmasi dan produk kesehatan konsumen, PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) serta PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO) juga akan terdampak. Meski kontribusi ekspor ke AS masih kecil, potensi pertumbuhan dari pasar diaspora Indonesia di AS bisa terhambat akibat tekanan tarif yang menurunkan margin.
Emiten agribisnis seperti PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN) dan PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) kemungkinan terdampak secara tidak langsung.
Meskipun ekspor langsung ke AS minim, kenaikan tarif dapat memengaruhi rantai pasok agribisnis secara lebih luas, terutama untuk produk bernilai tambah seperti olahan ayam halal.
Sementara itu, emiten tambang seperti PT Vale Indonesia Tbk (INCO), PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA), dan PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) masuk dalam radar strategis AS karena perannya dalam pasokan mineral kritis.
Ketergantungan AS terhadap nikel Indonesia dalam pengembangan baterai EV bisa menjadi titik tekan dalam negosiasi dagang.
Risiko penurunan permintaan dari AS membuat emiten-emiten ini harus mulai menjajaki aliansi strategis atau kontrak jangka panjang dengan pelaku industri AS.
Ketegangan juga terlihat dalam sektor aviasi. PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) dan PT Dirgantara Indonesia tengah dalam proses negosiasi pengadaan pesawat dan sistem pertahanan dari AS.
Langkah yang Perlu Dilakukan
Jika tidak segera difinalisasi, potensi untuk mendapatkan kompensasi diplomatik, termasuk tarif preferensial, bisa hilang.
Melihat risiko lintas sektor ini, pemerintah Indonesia dinilai perlu menyusun strategi makro secara terkoordinasi.
Beberapa langkah yang dianggap mendesak adalah merumuskan paket diplomasi dagang, misalnya dengan menawarkan pembelian energi, produk pertanian, hingga alutsista dari AS sebagai imbalan atas pengurangan tarif.
Selain itu, reformasi regulasi domestik seperti pelonggaran TKDN dan fleksibilitas DHE juga dapat menjadi sinyal positif untuk negosiator AS.
Diversifikasi pasar ekspor ke negara-negara non-AS, khususnya di Afrika, Asia Selatan, dan Timur Tengah, dinilai penting. Indonesia bisa meniru strategi China yang membebaskan tarif bagi negara berkembang untuk memperluas pengaruh dagang.
Pemerintah juga perlu mempercepat skema Local Currency Settlement (LCS) dan Bilateral Currency Swap Arrangement (BCSA) guna mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS serta menjaga kestabilan nilai tukar.
Sementara itu, relokasi basis produksi ke negara bebas tarif atau pembentukan joint venture di luar negeri juga bisa menjadi solusi taktis bagi emiten berorientasi ekspor.
Konsistensi antara agenda hilirisasi industri dan kebijakan dagang juga harus diperkuat untuk menciptakan nilai tambah ekspor sekaligus meningkatkan ketahanan ekonomi eksternal Indonesia.
Jika tidak ditangani secara cepat dan terstruktur, tarif unilateral AS bisa memukul lebih banyak sektor dan memperlemah kinerja ekspor nasional ke depan.
Tenggat negosiasi dengan AS semakin dekat, dan respons pemerintah akan sangat menentukan nasib daya saing Indonesia dalam perdagangan global.
(dhf)



























