Logo Bloomberg Technoz

Lalu, ada juga kelompok pakaian dan aksesorisnya tidak termasuk rajutan (HS62) di mana share ekspor produk ini ke AS setara dengan 8,1% dari total ekspor Indonesia keseluruhan.

Dari empat kelompok produk ekspor utama RI ke AS tersebut, negara-negara yang jadi pesaing utama ada beberapa. Di antaranya adalah China, Meksiko, Vietnam, lalu Kamboja, Italia dan Bangladesh.

"Pesaingnya siapa aja? China, Kamboja, Bangladesh, Thailand, Vietnam. Ya kita lihat, relatif seperti apa? Tarif yang dikenakan, kita paling rendah. Kalau musuh kita selama ini, Vietnam 46%, kita 32%. Kita untung 14%," ujar Purbaya dalam wawancara khusus bersama Bloomberg Technoz, beberapa waktu lalu, menanggapi tarif AS yang diumumkan pada bulan April.

Ekspor RI ke AS dibanding negara-negara pesaing (Dok. LPS)

Nah kini, ketika tarif yang dikenakan ke negara-negara pesaing tersebut lebih rendah ketimbang tarif yang dikenakan Trump ke Indonesia, tantangannya menjadi lebih rumit. Tarif yang lebih tinggi berarti harga barang yang dijual oleh RI ke Amerika menjadi lebih mahal sehingga daya saingnya susut.

Ambil contoh untuk kelompok HS85, pesaing utama Indonesia adalah China, Meksiko dan Vietnam. Tiga negara itu dikenakan tarif lebih rendah ketimbang Indonesia, masing-masing 'hanya' sebesar 30% setelah berhasil mencapai kesepakatan pada pertengahan Mei lalu.

Kemudian Meksiko juga terkena tarif sekitar 25%. Sedangkan Vietnam malah cuma 20%. Sementara Indonesia terkena tarif 32% yang potensial mencapai 42% bila ancaman Trump terhadap negara-negara anggota BRICS sebesar 10% jadi kenyataan.

Sementara tarif Bangladesh masih lebih tinggi ketimbang RI, yaitu sebesar 37% berdasarkan pengumuman Trump pada 7 Juli kemarin. Adapun Italia yang tergabung dalam Uni Eropa, menghadapi ancaman tarif 20% yang saat ini masih proses negosiasi juga.

Beban tarif yang lebih tinggi ketimbang negara eksportir pesaing tentu bisa berdampak pada kinerja perdagangan RI. Maklum saja, posisi AS sangat strategis bagi kinerja perdagangan Indonesia selama ini. 

Badan Pusat Statistik mencatat, nilai ekspor nonmigas Indonesia ke Negeri Paman Sam selama periode Januari-Mei mencapai US$12,11 miliar. 

Angka itu setara dengan 11,42% dari total ekspor nonmigas Indonesia. Amerika Serikat adalah negara tujuan ekspor terbesar kedua bagi Indonesia, hanya kalah dari China.

Ketika produk andalan kalah saing, bukan tidak mungkin tekanan yang dihadapi oleh pabrik-pabrik di dalam negeri yang sudah besar akibat kelesuan daya beli, akan semakin besar ke depan.

Sebut saja sektor tekstil dan alas kaki yang sudah banyak bertumbangan sejauh ini akibat serbuan barang impor serta penurunan penjualan karena pelemahan daya beli. 

Indonesia juga perlu mewaspadai potensi tambahan tarif yang diungkap Trump menargetkan negara-negara BRICS. Apabila Indonesia terkena tarif final dari AS sebesar 32% plus 10%, efeknya tidak bisa dianggap remeh.

"Pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa di bawah 4,5%," kata Lionel Priyadi, Fixed Income and Market Strategist Mega Capital Sekuritas.

Lobi Tarif Tak Berbuah

Pemerintah RI sejauh ini telah menempuh upaya lobi yang sayangnya tak jua membuahkan hasil.

Dalam pernyataan terakhir Jumat pekan lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa Indonesia berkomitmen untuk menerapkan tarif mendekati nol terhadap lebih dari 1.700 komoditas, atau hampir 70% dari total impor AS.

Komoditas yang diminta AS mencakup di beberapa sektor utama, seperti elektronik, mesin, bahan kimia, layanan kesehatan, baja, pertanian, dan otomotif. Termasuk di dalamnya adalah penawaran kepada AS di mana Pemerintah RI akan membolehkan penyedia layanan pembayaran dari AS masuk ke sistem pembayaran lokal.

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi menjelaskan pemerintah masih memiliki waktu untuk bernegosiasi hingga akhir bulan ini, sebab penerapan tarif tersebut baru efektif berlaku pada 1 Agustus 2025. 

“Tadi pagi kita sudah berkoordinasi dengan Bapak Menko Perekonomian dan mungkin ada beberapa hal yang bisa saya katakan saat ini, tapi ada disclaimer juga mungkin nanti temen-temen kita butuh menunggu statement lengkap disampaikan Pak Menko Perekonomian,” kata Hasan kepada awak media, di kantornya, Selasa (8/7/2025).

Pengumumkan tarif baru Trump untuk 1 Agustus. (Bloomberg)

Sementara Trump dalam suratnya kepada Presiden RI Prabowo Subianto yang dipublikasikan hari ini menegaskan, ia akan membebaskan Indonesia dari tarif apabila RI atau perusahaan-perusahaan dari Indonesia memutuskan untuk membangun atau memproduksi produk alias membangun pabrik di Negeri Paman Sam.

"Seperti yang Anda ketahui, tidak akan ada tarif jika Indonesia, atau perusahaan-perusahaan di negara Anda, memutuskan untuk membangun atau memproduksi produk di Amerika Serikat," tulis Trump kepada Prabowo dalam suratnya, dikutip Selasa (8/7/2025). 

Trump mengatakan, jika karena alasan apa pun Indonesia memutuskan untuk menaikkan tarif terhadap AS, maka, berapa pun angka yang dipilih untuk menaikkannya, akan ditambahkan ke 32% yang dikenakan AS kepada Indonesia. 

-- dengan bantuan laporan Dovana Hasiana dan Azura Yumna

(rui/aji)

No more pages