Adapun, lebih lanjut Guswanto, kurangnya tutupan awan dapat menjadi faktor lain adanya fenomena bediding di Tanah Air. “Pada malam hari, kurangnya tutupan awan menyebabkan radiasi panas dari permukaan bumi terpancar ke atmosfer tanpa hambatan, mengakibatkan penurunan suhu yang signifikan,” terang dia.
Kemudian Guswanto mengatakan fenomena bediding ini merupakan hal yang normal. Pihaknya pun memprakirakan bahwa fenomena ini bakal terjadi ketika musim kemarau melanda, yang diprediksi berlangsung hingga September 2025 mendatang.
“Menurut BKMG, fenomena udara dingin ini normal terjadi saat musim kemarau dan dikenal sebagai fenomena berdiding di Jawa,” ujar Guswanto.
“Dalam hal waktu, BMKG belum memberikan tanggal pasti kapan kondisi udara dingin ini akan berakhir. Namun, fenomena ini diperkirakan akan terus terjadi selama musim kemarau yang diprediksi berlangsung hingga September 2025,” sambung dia.
Guswanto menambahkan, BMKG memprakirakan fenomena bediding akan terjadi di wilayah Indonesia bagian selatan. Beberapa wilayah yang berpotensi mengalami fenomena ini yaitu Jawa bagian selatan termasuk wilayah Bandung, Jawa Barat (Jabar); Wonosobo, Jawa Tengah (Jateng); Magetan, Jawa Timur (Jatim); Bromo, Jatim; dan Malang selatan, Jatim.
Adapun, kata Guswanto, di Bali juga bakal mengalami fenomena bediding, di mana Kintamani suhu udaranya bakal lebih rendah dari biasanya. Termasuk di Nusa Tenggara Timur (NTT), dengan Kota Ruteng diprediksikan akan mengalami kemarau lebih awal. Serta, fenomena udara dingin ketika musim kemarau berpotensi terjadi di Nusa Tenggara Barat (NTB), dengan suhu udara lebih rendah dari biasanya dan bisa terjadi di kota yang memiliki pegunungan, misalnya di selatan NTB.
“BMKG mengimbau masyarakat untuk mewaspadai risiko yang terkait dengan musim kemarau seperti kekeringan dan kebakaran hutan. Selain itu, masyarakat diimbau untuk tetap menjaga kesehatan dan kenyamanan saat menghadapi fenomena udara dingin ini,” ujar Guswanto.
(far/spt)






























