Level itu masih lebih lemah dibanding posisi penutupan rupiah pada perdagangan spot terakhir pekan lalu di Rp16.205/US$. Hal ini mengisyaratkan bahwa bila ada tekanan pada rupiah di pasar spot, ruangnya mungkin terbatas.
Namun, dengan dukungan sentimen regional juga tren kelesuan dolar AS, rupiah masih memiliki peluang melanjutkan penguatan.
Pekan ini, kalender ekonomi domestik akan terfokus pada rilis data inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Juni, juga laporan kinerja ekspor impor serta neraca perdagangan pada bulan Mei.
Konsensus pasar sejauh ini memperkirakan, inflasi IHK Indonesia pada Juni sebesar 0,13% setelah pada Mei terjadi deflasi 0,37%. Secara tahunan, inflasi Juni diprediksi naik lagi 1,81% setelah melambat di 1,61% pada bulan sebelumnya. Inflasi inti diperkirakan sedikit naik jadi 2,42% pada bulan Juni.
Adapun kinerja dagang pada Mei, konsensus pasar memprediksi ekspor turun 1,8% setelah pada April tumbuh 5,76%. Sedangkan impor RI pada Mei diperkirakan melemah dengan pertumbuhan 0,9%, setelah pada April melonjak 21,84%.
Konsensus pasar memperkirakan neraca dagang RI akan mencetak surplus lebih besar yaitu mencapai US$ 2,4 miliar setelah pada April hanya surplus US$ 159 juta.
Sebelumnya, data aktivitas manufaktur RI pada Juni juga akan jadi perhatian setelah dalam dua bulan beruntun kinerjanya terjebak di zona kontraksi.
Aliran modal asing
Sampai perdagangan terakhir 26 Juni lalu, di pasar saham para pemodal asing masih mencetak posisi net sell senilai US$ 489,3 juta month-to-date.
Sedangkan di pasar surat berharga negara, asing juga mulai keluar mengurangi kepemilikan SBN. Sampai data perdagangan 24 Juni, investor nonresiden mencetak posisi net sell senilai US$ 531,8 juta month-to-date.
Bila tren ini berlanjut, ada peluang bulan Juni akan menjadi posisi net sell bulanan pertama asing di pasar SBN setelah sejak Desember tahun lalu selalu mencetak posisi beli bersih.
Tekanan jual yang melanda pasar SBN juga saham, dilatarbelakangi oleh sentimen global terutama karena sengitnya eskalasi konflik di Timur Tengah akibat perang selama 12 hari Israel versus Iran.
Juga, karena kekhawatiran akan dampak kebijakan tarif AS terhadap perdagangan dunia serta prospek kebijakan bunga acuan Federal Reserve.
Sementara dari dalam negeri, para investor juga masih terus mencermati kinerja belanja negara di tengah penerimaan yang masih lesu terseret pelemahan konsumsi rumah tangga dan kinerja penjualan yang 'kurang darah' ketika aktivitas manufaktur juga terkontraksi cukup dalam.
(rui)





























