"Apa artinya [harga komoditas yang turun]? berarti pengusaha akan menyesuaikan dalam hal pembayaran pajak," ujarnya
Selain itu, potensi pendapatan yang hilang juga berasal dari kebijakan pemerintah yang batal menerapkan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk barang dan jasa umum.
Terakhir, potensi pendapatan yang hilang juga berasal dari kebijakan kewenangan pengelolaan dividen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang beralih ke Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara. Padahal, sebelumnya dividen dari BUMN bakal masuk penerimaan negara dengan kategori kekayaan negara yang dipisahkan.
Lembaga riset ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) menyatakan terdapat tantangan untuk mencapai target fiskal pemerintah Presiden Prabowo Subianto dalam jangka menengah. Pasalnya, kecepatan peningkatan belanja berpotensi melampaui penerimaan negara hingga 2029.
Dalam laporan per Juni 2025, AMRO memperkirakan penerimaan negara hanya mencapai 12,8% dari produk domestik bruto (PDB) pada 2029. Di sisi lain, belanja negara diproyeksi akan melonjak hingga 16% dari PDB pada tahun yang sama, seiring dengan perluasan program prioritas baru pemerintahan Prabowo.
Rinciannya, penerimaan negara diproyeksi stagnan pada level 12,7% dari PDB pada 2025-2027. Angka proyeksi tersebut turun 0,1 poin persentase dibanding dengan 12,8% dari PDB pada 2024. Namun, angkanya kembali mencapai 12,8% mulai 2028.
AMRO melandasi proyeksi penerimaan negara yang stagnan karena ketentuan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12% yang hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah, meski terdapat langkah-langkah reformasi pajak.
Di sisi lain, belanja negara diproyeksi naik menjadi 15,3% pada 2025-2026. Angka itu naik 0,2 poin persentase dibanding dengan 15,1% pada 2024. Kemudian, belanja diproyeksi naik menjadi 15,4% pada 2027; dan 15,6% pada 2028.
Dalam sebuah kesempatan, Sri Mulyani pernah menyebutkan total anggaran program prioritas Prabowo mencapai Rp446,24 triliun.
Angka itu terdiri dari Makan Bergizi Gratis (MBG) Rp121 triliun; program 3 juta rumah melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) Rp41,88 triliun; Koperasi Desa Merah Putih Rp200 triliun; Sekolah Rakyat Rp11,6 triliun; Sekolah Unggul Garuda Rp2 triliun; Rehabilitasi sekolah Rp19,5 triliun; Cek Kesehatan Gratis (CKG) Rp3,4 triliun; Penuntasan Tuberkulosis Rp1,5 triliun; Pembangunan Rumah Sakit berkualitas Rp1,7 triliun; Lumbung pangan Rp23,16 triliun; dan Pembangunan bendungan dan irigasi Rp20,5 triliun.
Selain program prioritas Prabowo, AMRO menilai kompensasi yang diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bertanggung jawab atas distribusi bahan bakar minyak (BBM) seperti PT Pertamina (Persero) dan listrik PT PLN (Persero) dikombinasikan dengan jadwal yang tidak jelas untuk reformasi subsidi, menyebabkan risiko fiskal yang signifikan yang dapat merusak keberlanjutan anggaran.
Sekadar catatan, Kementerian Keuangan telah membayar dana kompensasi BBM atas kekurangan penerimaan akibat penetapan harga jual eceran Jenis BBM Tertentu (JBT) Minyak Solar dan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) Bensin (Gasoline) RON 90 atau Pertalite (DK HJE) periode kuartal I 2024 sebesar Rp29,88 triliun (termasuk pajak) atau Rp26,92 triliun (tidak termasuk pajak).
"Meningkatnya beban pembayaran bunga juga membatasi fleksibilitas pemerintah untuk mengalokasikan pengeluaran untuk inisiatif peningkatan pertumbuhan," sebagaimana termaktub dalam AMRO's 2025 Annual Consultation Report on Indonesia Juni 2025, dikutip Rabu (25/6/2025).
Dalam APBN 2025, pemerintah menargetkan pendapatan negara Rp3.005,1 triliun atau 12,36% dari PDB. Sementara itu, belanja negara ditargetkan Rp3.621,3 triliun pada 2025.
(ell)































