Logo Bloomberg Technoz

Dalam empat sesi eksperimen selama empat bulan, para partisipan diminta menulis esai dengan instrumen pendeteksi aktivitas otak (EEG) yang dipasang di kepala mereka.

Peneliti tidak hanya menganalisis hasil tulisan, tetapi juga aktivitas saraf, wawancara pasca-penulisan, dan kemampuan mereka dalam mengingat serta mengutip isi esai.

"Kami menggunakan elektroensefalografi (EEG) untuk merekam aktivitas otak para peserta guna menilai tingkat keterlibatan dan beban kognitif mereka, serta memperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai aktivasi saraf selama proses menulis esai," tulis penelitian MIT dikutip Senin (23/6/2025). 

"Selain itu, kami melakukan analisis pemrosesan bahasa alami (NLP) dan mewawancarai setiap peserta setelah setiap sesi. Penilaian terhadap hasil esai dilakukan oleh guru manusia serta juri berbasis AI (yakni agen kecerdasan buatan yang dirancang khusus untuk penelitian ini)."

Hasilnya menunjukkan, kelompok pengguna ChatGPT mengalami penurunan aktivitas saraf secara signifikan dibanding kelompok lainnya. Aktivitas otak mereka, khususnya dalam gelombang alpha dan beta yang berhubungan dengan fokus dan pengambilan keputusan, tercatat paling lemah. 

Ketika diminta untuk menulis tanpa bantuan AI pada sesi keempat, kelompok ini tetap menunjukkan keterlibatan mental yang lebih rendah, bahkan dibanding mereka yang sejak awal tidak menggunakan alat bantu. Mereka juga menunjukkan kesulitan dalam mengutip kembali isi esai yang baru ditulis dan merasa kurang memiliki karya tulis tersebut —sebuah indikator rendahnya keterlibatan personal dan memori jangka pendek.

Sementara itu, kelompok brain-only justru menunjukkan aktivitas saraf paling kuat dan skor penilaian tertinggi baik dari juri manusia maupun penilai AI.

Studi ini juga menemukan bahwa semakin sering seseorang menggunakan ChatGPT, semakin kecil kemungkinan mereka untuk mengakses ingatan atau menganalisis secara mendalam.

Penggunaan LLM menciptakan "utang kognitif" yakni situasi di mana otak menjadi terbiasa melakukan outsourcing proses berpikir kepada mesin, sehingga dalam jangka panjang kemampuan berpikir kritis, refleksi, dan pembentukan skema pengetahuan internal menjadi lemah. 

Bahkan ketika konten yang dihasilkan tampak berkualitas tinggi secara linguistik, pengguna cenderung hanya menyunting permukaan tanpa benar-benar memahami struktur dan argumen di dalamnya.

Lebih jauh, penelitian ini memperlihatkan, meski penggunaan ChatGPT mampu meningkatkan efisiensi dan kenyamanan dalam menyelesaikan tugas, hal ini dicapai dengan mengorbankan kedalaman pemahaman.

Partisipan yang terlalu bergantung pada ChatGPT menunjukkan ketidakmampuan untuk mengembangkan struktur tulisan sendiri, menurunnya kapasitas mengingat, dan rasa kepemilikan yang rendah atas karya mereka. 

"Perilaku ini menunjukkan adanya peningkatan ketegangan kognitif dan berkontribusi pada penurunan efisiensi dalam menyelesaikan tugas," tulis studi tersebut. 

Sebaliknya, kelompok yang menggunakan mesin pencari menunjukkan hasil antara: mereka mengalami keterlibatan kognitif yang lebih tinggi dibanding pengguna ChatGPT, tetapi masih di bawah kelompok brain-only.

Melalui pendekatan gabungan antara EEG, analisis NLP, wawancara, dan evaluasi multidimensi terhadap esai, studi ini menyimpulkan bahwa penggunaan AI seperti ChatGPT dalam proses belajar harus dilakukan dengan hati-hati. Ketergantungan yang berlebihan dapat menurunkan daya pikir kritis, kualitas pembelajaran, serta kemampuan reflektif. 

"Oleh karena itu, kami meyakini bahwa diperlukan studi longitudinal untuk memahami dampak jangka panjang penggunaan LLM terhadap fungsi dan perkembangan otak manusia—sebelum teknologi ini dapat dianggap sepenuhnya bermanfaat secara positif bagi umat manusia," terang studi tersebut.

(wep)

No more pages