Belakangan, Pertamina tengah berkoordinasi dengan pemerintah untuk menyikapi pelandaian harga minyak mentah itu terhadap rencana pengembangan bisnis di sisi hulu migas, termasuk di dalamnya program peningkatan lifting nasional.
“Karena kalau tidak disikapi dengan regulasi yang harus ada breakthrough secara fundamental, ini yang kita akan koordinasikan betul dengan pemerintah, bagaimana penyikapan dari volatilitas dari crude price ini,” tuturnya.
Dari sisi kinerja keuangan, Pertamina mencatatkan laba bersih US$3,13 miliar atau setara dengan Rp49,54 triliun sepanjang 2024.
Torehan laba itu ditopang dengan raihan pendapatan sebesar US$75,33 miliar atau setara Rp1.194 triliun, EBITDA senilai US$10,79 miliar atau sekitar Rp171,04 triliun.
Adapun, Pertamina menargetkan lifting minyak sebesar 748.000 barel per hari atau barrels of oil per day (bopd) dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) 2025.
Target lifting itu berasal dari aset dalam negeri sebanyak 417.000 bopd dan portofolio luar negeri mengambil bagian 331.000 bopd.
Sementara itu, pada 2029, Pertamina menargetkan dapat memproduksi minyak sebanyak 914.000 bopd, di mana 480.000 bopd di antaranya berasal dari domestik dan sisanya internasional.
Kurva Minyak Menguat Disulut Konflik Israel-Iran
Kendati harga minyak mentah mengalami tren pelandaian sejak tahun lalu, belakangan kurva minyak berjangka justru menguat setelah ketengangan antara Israel dan Iran meletus.
Harga minyak mentah Brent kontrak bulan depan telah melonjak hingga 13%, tetapi ada juga pergerakan untuk kontrak yang lebih jauh dengan rentang yang meningkat.
Pola yang disebut senyum atau tongkat hoki yang menjadi ciri bentuk kurva berjangka selama berbulan-bulan — yang menampilkan struktur contango dan menandakan saldo yang longgar dalam jangka panjang — kini telah menghilang.
Selisih (spread) yang banyak diamati antara dua kontrak Brent Desember terdekat, penanda favorit bagi para pedagang yang memperkirakan prospek jangka panjang minyak, adalah sekitar US$2,30/barel dalam backwardation menjelang pagi di Singapura, dengan kontrak dengan jangka waktu yang lebih pendek lebih mahal daripada kontrak berikutnya.
Selisih ini berubah drastis dari contango yang terjadi selama dua bulan terakhir.
Selisih waktu lainnya juga meningkat, dengan selisih cepat Brent, selisih antara dua bulan terdekat, naik hingga selebar US$4/barel hingga mencapai titik tertinggi sejak 2022 secara intraday.
Selisih tiga bulan dan enam bulan juga lebih kuat. Hal ini disertai dengan volume yang jauh lebih tinggi dari biasanya di sesi Asia.
"Dalam skenario di mana kita melihat eskalasi yang berkelanjutan, ada potensi gangguan pada pengiriman melalui Selat Hormuz,” kata Warren Patterson, kepala strategi komoditas di ING Groep NV di Singapura.
"Gangguan signifikan pada arus ini akan cukup untuk mendorong harga menjadi US$120/barel."
Harga berjangka Brent terakhir diperdagangkan mendekati US$75/barel.
(naw)

































