Logo Bloomberg Technoz

Dengan tingkat utang makin tinggi menandakan beban bunga perusahaan akan semakin besar dan mengurangi keuntungan.

Pemberi utang terbesar kepada Wijaya Karya (Sumber: Bloomberg)

DER menjadi salah satu alat parameter menghitung kemampuan perusahaan membayar kewajiban dengan membandingkannya dengan nilai ekuitas yang tersedia. Idealnya nilai DER suatu perusahan adalah 1 kali.

Rasio utang tinggi merupakan konsekuensi dari mandat negara. Di tengah arus kas yang terbatas, BUMN diminta patuhi perintah membangun infrastruktur atas nama penugasan negara. Akibatnya, utang melesat. Tidak hanya dalam bentuk pinjaman perbankan, tapi juga surat obligasi korporasi.

Pelunasan utang kepada bank, utamanaya perbankan BUMN, mandek, pembayaran bunga obligasi jatuh tempo juga terpaksa ditunda. Ini belum menghitung dampak atas penangkapan Direktur Utama Waskita Karya Destiawan Soewardjono karena diduga terlibat kasus korupsi. Kreditur cemas, investor kebingungan.

Atasi masalah utang secara permanen

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), mengungkapkan pemerintah perlu mengurangi penugasan pembangunan infrastruktur pada para BUMN. Ini jadi salah satu cara untuk menanggulangi penumpukan utang. 

Menurut Wakil Direktur INDEF Eko Listiyanto, proyek infrastruktur idealnya dibagi menjadi dua. Untuk pembangunan infrastruktur secara umum, lebih baik dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) lewat dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

Utang di BUMN sektor konstruksi melesat sejak era Presiden Joko Widodo (Bloomberg)

Biarkan BUMN menangkap peluang proyek infrastruktur dari kaca mata bisnis. Bisa menyasar proyek yang ada di episentrum bisnis. Membangun dengan selektif, pilih wilayah yang menguntungkan.

“Dengan demikian, nanti keuangannya membaik. Setelah itu, kalau ada penugasan lagi tidak masalah, tapi harus seimbang. Jangan sampai sedikit-sedikit BUMN yang dimajukan, itu akan menambah utang terus,” terang Eko kepada Bloomberg Technoz.

Head of Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho bilang, penambahan nilai proyek, yang berasal dari pemerintah, diiringi kenaikan rasio utang, membawa sentimen buruk ke masyarakat, khususnya investor. Ujungnya memengaruhi kinerja laba bersih BUMN Karya.

“Ketika berpengaruh pada laba, sentimen emiten rendah, ini yang menurut saya, publik belum melihat ada tanda-tanda terkait peningkatan laba, padahal itu yang mereka tunggu,” ucap dia.

Presiden Jokowi saat meninjau salah satu proyek infrastruktur pemerintah. (dok Presidenri.go.id)

Hal ini makin diperparah oleh efek pandemi yang menyebabkan progres pembangunan infrastruktur pemerintah terhambat. “Kita lihat memang sentimen publik bahwa (BUMN) karya ini belum kembali kepada kinerjanya sebelum pandemi. Ketika masa pandemi sektor konstruksi cukup tertekan, dalam hal ini BUMN Karya. Emiten ini di pasar modal belum cukup bagus,” jelas Andry.

Jika hadirnya PMN hanya sebagai kanal ‘pass thru’ untuk menghadirkan utang baru, kata Eko,  tidak menjadi solusi permanen atas penyehatan sebuah perusahaan negera. “Uang itu masuk menjadi PMN sehingga neraca BUMN Karya terlihat lebih bagus. Ketika neracanya bagus, BUMN bisa cari utang lebih tinggi. Namun, penugasannya banyak sekali dan beberapa bahkan belum menguntungkan. Walaupun dari sisi pemerintah, internal rate of return tinggi, tapi faktanya tidak secepat itu balik modal apalagi untung,” kata Eko.

Rasio utang BUMN infrastruktur terus membengkak

SWF bukan jalan keluar

Guna menghadirkan dana investasi berkelanjutan, pemerintah membentuk lembaga pengelola investasi atau Sovereign Wealth Fund (SWF) dengan nama Indonesia Investment Authority. Harapannya, tujuan pemerintah mengejar ketertinggalan infrastruktur, lewat pembangunan masif, bisa didanai oleh SWF.

Pada skala ideal SWF akan mengundang keterlibatan berbagai investor di dunia untuk menempatkan modal di Indonesia. Dengan demikian likuiditas dari perusahaan bisa naik, sekaligus menjadi alternatif sumber ekuitas. Tidak hanya dari pasar saham, pinjaman perbankan, ataupun penerbitan surat utang.

SWF juga didorong berperan sebagai pihak yang mengambil alih proyek yang sebelumnya telah dibangun BUMN, atau divestasi, seperti pada bandara, jalan tol, pelabuhan, atau infrastruktur lainnya.

Waskita Karya menanggung utang besar pada bank BUMN (Bloomberg)

Dalam persoalan BUMN Infrastruktur yang mencatatkan utang setumpuk, kata Andry Satrio, kehadirkan SWF bukan menjadi jalan keluar. Pasalnya Indonesia Investment Authority tetap mempunyai tujuan jangka panjang, yaitu investasi. Dimana salah satu pertimbangan investasi adalah kalkulasi keuntungan.

“Saya rsa tidak semua infrastruktur [bisa] dibiayai Indonesia Investment Authority. Pada hakekatnya, menurut saya bentuknya investasi. Kalau dilihat inves kurang cukup baik dalam hal return, maka dia [Indonesia Investment Authority] tidak akan membantu. Terlepas dia bilang mendorong pengadaan infastruktur, pasti infrastrukturnya akan dipilih,” tegas dia.

(wep)

No more pages