Logo Bloomberg Technoz

“Sekarang makin melemah. Belum tentu naik lagi, malah bisa cenderung turun. Kan [industri TPT] ini tergantung sama [permintaan] dunia, bukan hanya [permintaan dari] Indonesia. Industri tekstil domestik kuartal I-2023 ini juga masih babak belur, karena banyaknya impor ilegal baju bekas masuk ke Indonesia. Salah satunya karena itu, meski itu bukan satu-satunya faktor. Dari sebelum pandemi, kita sudah minta aparat untuk menindak itu secara tegas,” ujarnya kepada Bloomberg Technoz, Sabtu (27/5/2023).

Ilustrasi buruh pabrik garmen. (Qilai Shen/Bloomberg)

Anne –yang juga Vice CEO PT Pan Brothers Tbk. (PBRX)– pun mengungkapkan, ke depannya, serapan tenaga kerja di sektor TPT akan cenderung terus menurun, bahkan jika permintaan pulih dan kondisi perekonomian global membaik. Penyebabnya, pengusaha sudah tidak sanggup lagi menangani dampak inflasi terhadap biaya produksi sektor pertekstilan di dalam negeri.

Salah satu biaya produksi yang dimaksud Anne adalah upah tenaga kerja. Menurutnya, inflasi dan biaya upah pekerja yang makin tinggi membuat produk pertekstilan Indonesia kian tak kompetitif di pasar global.

Dia mengeklaim upah pekerja sektor pertekstilan telah naik sepuluh kali lipat dibandingkan dengan 1 dekade yang lalu. Sebaliknya, kenaikan harga garmen tidak setimpal dengan kenaikan upah buruh.

Hal tersebut lantas memicu banyak perusahaan TPT lokal yang beralih ke automasi dan digitalisasi untuk mengimbangi biaya produksi dengan laju kenaikan inflasi. Dia menyebut langkah tersebut sebagai bentuk “improvisasi” industriawan.

“Maka dari itu, [banyak perusahaan TPT yang memilih untuk] automasi dan digitalisasi. Jadi sekali lagi saya bicara, kalau kinerja sektor ini flat, pasti terjadi penurunan pekerja. Sebab, automasi dan digitalisasi itu nyata. Namun, kalau kinerja membaik, belum tentu juga serapan pekerjanya naik,” ujarnya.

Dia menggarisbawahi bahwa evolusi digital di sektor industri TPT tidak terhindarkan dan akan makin berdampak pada turunnya penggunaan tenaga manusia untuk produksi.

“Dahulu, di lini spinning misalnya, untuk menghasilkan berapa ribu ton, harus punya sekian pekerja. Sekarang pekerjanya berkurang banyak, bukan karena kapasitas [produksi] turun, tetapi automasinya yang bertambah. Jadi makin efisien dan otomatis terjadi pengurangan tenaga kerja,” terang Anne.

Pengunjung memilih pakaian di pasar Tanah Abang, Jakarta, Jumat (17/3/2023). (Bloomberg Technoz/ Andrean Kristianto)

Risiko Dumping Kian Tinggi

Lebih lanjut, Anne berpendapat kinerja industri TPT pada tahun ini masih akan terus stagnan. Bahkan, stagnasi disebutnya sudah cukup baik, selama tidak terjadi penurunan kinerja dibandingkan dengan tahun lalu.

Dia memperkirakan kondisi permintaan ekspor –yang notabene mendominasi pangsa pasar produk pertekstilan RI–  masih cenderung lemah pada 2023. Belum lagi, negara-negara basis TPT yang kelebihan produksi berisiko makin gencar melakukan praktik dumping. 

“Mereka akan coba nge-dumping ke negara-negara yang pasarnya masih mampu menampung, salah satunya Indonesia. [...] Kita kan kalau mau ekspor itu lawannya [produsen] dari seluruh dunia. Kalau seluruh dunia kelebihan kapasitas, otomatis terjadi dumping,” tuturnya.

Kode batang (barcode) QRIS terpampang disalah satu lapak penjualan sepatu di Pasar Minggu, Kamis (11/5/2023). (Bloomberg Technoz/ Andrean Kristianto)

Senada, Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprinsindo) Firman Bakri mengutarakan kenaikan upah minimum 2023 –yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 18/2022 tentang Penetapan Upah Minimum 2023– cukup memberatkan bagi pelaku industri padat karya, tidak terkecuali industri TPT subsektor alas kaki.

Berdasarkan beleid tersebut, penyesuaian nilai upah minimum 2023 dihitung dengan formula mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Sebelumnya, formulasi pengupahan hanya mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi atau inflasi tergantung mana yang lebih besar.

Kondisi tersebut yang pada akhirnya memaksa pelaku industri alas kaki merumahkan pekerjanya atau melakukan PHK besar-besaran. Keputusan sulit itu mau tidak mau diambil lantaran permintaan dari negara-negara tujuan ekspor, khususnya Eropa dan Amerika Serikat (AS) anjlok hingga 40% pada 2022.

“Perlambatan ekonomi global yang terjadi saat ini berpengaruh terhadap pola konsumsi masyarakat. Akhirnya terjadi overstock di gudang-gudang peritel, khususnya di Eropa dan AS. Permintaan pun berkurang,” tuturnya kepada Bloomberg Technoz, belum lama ini.

Firman menyebut pelaku industri alas kaki hanya bisa pasrah. Sebab, sampai dengan saat ini belum ada tanda-tanda perlambatan ekonomi global akan segera berakhir.

“Belum masuk informasi order baru. Belum ada indikator yang menunjukkan pemulihan ekonomi global secara signifikan. Bank-bank di AS tutup, belum ada titik temu soal utang pemerintah AS. Masih banyak masalah,” keluhnya.

Berdasarkan catatan Aprisindo, perlambatan ekspor dialami oleh industri alas kaki sejak Juli 2022. Sejak Juli 2022 hingga April 2023, data ekspor perusahaan anggota Aprisindo hanya tumbuh dengan rerata rata 29%, padahal sebelumnya pertumbuhan ekspor mencapai 30%—45%.

(wdh)

No more pages