Logo Bloomberg Technoz

Trump juga menyerukan agar Harvard dicabut status bebas pajaknya—kebijakan yang, menurut pihak universitas yang berbasis di Cambridge, Massachusetts, dapat membawa “konsekuensi serius bagi masa depan pendidikan tinggi di Amerika Serikat.”

Menanggapi kebijakan ini, Harvard menyatakan tindakan pemerintah tersebut tidak sah.

“Kami berkomitmen penuh untuk memastikan Harvard tetap menjadi tempat bagi mahasiswa dan peneliti internasional, yang berasal dari lebih dari 140 negara dan memperkaya universitas — dan negara ini — secara luar biasa,” ujar juru bicara Harvard dalam pernyataan resminya. “Kami bergerak cepat untuk memberikan panduan dan dukungan bagi anggota komunitas kami.”

Universitas ini telah menggugat beberapa lembaga federal AS atas pemblokiran dana, menyusul tuntutan pemerintah agar Harvard merombak tata kelola, sistem penerimaan mahasiswa, proses perekrutan dosen, menghentikan penerimaan mahasiswa asing yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Amerika, serta menerapkan keberagaman pandangan secara ketat.

Pada April lalu, Menteri Keamanan Dalam Negeri Kristi Noem memberikan tenggat waktu hingga 30 April bagi Harvard untuk menyerahkan data pelanggaran hukum oleh mahasiswa asing jika ingin mempertahankan sertifikasi SEVP. Saat ini, hampir 6.800 mahasiswa—atau 27% dari total populasi mahasiswa Harvard—berasal dari luar negeri, naik dari 19,6% pada 2006, menurut data universitas.

Departemen tersebut juga menyebut bahwa banyak dari "provokator" tersebut merupakan mahasiswa asing dan menuduh pimpinan Harvard berkoordinasi dengan Partai Komunis China. Awal pekan ini, sekelompok anggota parlemen AS mengirimkan surat kepada Rektor Harvard, Alan Garber, yang menuntut informasi tentang hubungan kampus dengan pemerintah dan militer China.

Dalam surat tersebut, para anggota parlemen menuding Harvard telah menerima dan melatih anggota Xinjiang Production and Construction Corps (XPCC)—organisasi milik negara yang dikenai sanksi oleh AS pada 2020 atas dugaan pelanggaran HAM, termasuk penahanan warga Muslim Uighur. Pemerintah Beijing membantah tuduhan tersebut.

“Pemerintahan ini menuntut pertanggungjawaban Harvard karena membiarkan kekerasan, antisemitisme, serta berkoordinasi dengan Partai Komunis Tiongkok di lingkungan kampusnya,” ujar Noem pada Kamis. “Menerima mahasiswa asing adalah sebuah hak istimewa, bukan hak mutlak—terutama jika itu dimanfaatkan untuk memperbesar dana abadi mereka yang bernilai miliaran dolar.”

Noem dalam suratnya menyebut Harvard dapat memperoleh kembali sertifikasi SEVP sebelum tahun ajaran baru, asalkan menyerahkan data termasuk catatan disiplin, rekaman video aksi protes, dan laporan pelanggaran hukum oleh mahasiswa selama lima tahun terakhir. Tenggat waktu yang diberikan adalah 72 jam.

Saat tampil di Fox News, Noem juga menyatakan bahwa pemerintah sedang mempertimbangkan untuk memberlakukan larangan serupa di universitas-universitas lain.

“Ini menjadi peringatan bagi semua kampus: berbenahlah,” ujarnya.

Universitas Harvard. (Sumber: Sophie Park/Bloomberg)

Dana Abadi Terbesar di Dunia Akademik

Harvard memiliki dana abadi sebesar US$53 miliar, namun sebagian besar dana itu telah ditetapkan untuk keperluan khusus seperti beasiswa. Harvard, bersama MIT dan Yale, juga tengah menghadapi pajak tinggi atas dana abadi mereka berdasarkan undang-undang yang disahkan DPR AS pada Kamis.

Rektor Alan Garber telah meminta langsung kepada para alumni untuk menyumbang ke dana khusus yang dapat digunakan untuk menutup kekurangan anggaran mendesak dan menjaga keberlangsungan inti pengajaran dan riset kampus.

Sejumlah proyek riset penting ikut terdampak dalam pertarungan politik dan hukum yang diperkirakan akan berlangsung lama ini, termasuk riset mengenai tuberkulosis, deteksi dini penyakit ALS (Lou Gehrig), dan metode untuk mengurangi efek samping dari radiasi. Harvard bahkan mengalokasikan US$250 juta dari dananya sendiri untuk menyelamatkan proyek-proyek tersebut.

Tak hanya bagi Harvard, larangan terhadap mahasiswa asing juga berpotensi membawa dampak besar bagi perekonomian negara bagian Massachusetts dan ekosistem regional yang menggantungkan hidupnya pada keberadaan universitas tersebut.

Mahasiswa asing bukan hanya membayar uang kuliah, tetapi juga berkontribusi pada perekonomian lokal melalui pengeluaran mereka di restoran dan aktivitas lain. Banyak dari mereka yang kemudian bekerja di rumah sakit, institusi riset, dan perusahaan bioteknologi ternama di negara bagian tersebut.

Harvard dan sejumlah universitas elite menjadi sorotan publik setelah aksi protes mahasiswa pro-Palestina pecah menyusul serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 dan respons balasan dari Israel di Gaza. Meski pemerintahan Trump mengklaim ingin memberantas antisemitisme, mereka juga memperluas serangan terhadap inisiatif keberagaman dan bias sayap kiri di kampus.

Garber, yang beragama Yahudi, menyatakan bahwa Harvard bersedia bekerja sama dengan pemerintah untuk mengatasi antisemitisme—sesuatu yang ia akui memang menjadi masalah di kampus. Namun ia menilai tuntutan Gedung Putih mengancam kebebasan akademik.

“Langkah ini melanjutkan serangan pemerintahan Trump terhadap kebebasan berpendapat dan otonomi kampus,” kata Robert Shireman, mantan wakil menteri pendidikan di era Obama dan kini peneliti senior di The Century Foundation.

“Sarjana internasional memberikan manfaat besar bagi Amerika,” tambah Shireman. “Ini adalah upaya jahat untuk membungkam pertukaran gagasan dan menggantinya dengan kontrol terpusat terhadap ilmu pengetahuan dan sejarah.”

Tindakan pemerintah terhadap mahasiswa asing ini pertama kali dilaporkan oleh The New York Times.

(bbn)

No more pages