Gelagat kenaikan daya tarik mata uang Asia itu jelas terlihat sejak awal bulan ini. Dolar Taiwan memimpin penguatan luar biasa dengan mencetak kenaikan nilai 5,62% sepanjang bulan ini sampai perdagangan pekan lalu.
Won juga menguat 1,87% pada saat yang sama. Sementara rupiah membukukan penguatan 0,52%, penguatan terbesar urutan keenam sampai data transaksi spot pekan lalu.
"Pada dasarnya, harga sudah murah sejak lama," kata Claudia Calich, Head of EM Debt di M&G Investment Management, yang menilai investor lebih menyukai mata uang emerging Amerika Latin karena peluang carry trade lebih besar.
Won Korsel yang ambles pada April hingga 3,41% tergulung sentimen eksternal perang tarif Trump, dinilai sebagai mata uang dengan prospek keuntungan lanjutan menurut Goldman Sachs dan Barclays.
Strategist Goldman menimbang tingkat undervalued, lalu kemungkinan konversi aset dolar juga peran yuan dalam menilai mata uang yang prospektif. Selain won, ringgit Malaysia dan rand Afrika Selatan juga potensial menguat.
Sementara Barclays melihat peluang signifikan untuk penguatan dolar Singapura dan Taiwan.
Nasib rupiah
Lantas, bagaimana dengan rupiah? Animo pemodal global di pasar surat utang RI belakangan telah memberi dorongan pada rupiah. Pemodal global membukukan net buy senilai US$ 446,6 juta pada 8 Mei lalu, membawa posisi beli bersih tahun ini menembus US$ 1,73 miliar.
Namun, pemodal asing masih getol melepas posisi di saham RI. Data Bloomberg mencatat, net sell asing di pasar saham domestik mencapai US$ 189,7 juta pada Mei ini sampai perdagangan pekan lalu. Alhasil, sepanjang tahun, asing telah keluar US$ 3,25 miliar dari pasar saham Indonesia.
Kesepakatan AS dengan Tiongkok bisa memberikan harapan pada perbaikan ekonomi China. Mata uang negara yang memiliki hubungan dagang erat dengan Negeri Panda dinilai akan lebih berpotensi mengungguli mata uang lain yang tak terlalu terikat dengan Tiongkok.
Dalam konteks itu, ditambah valuasi yang sudah murah, rupiah memiliki peluang yang baik. Namun, pada saat yang sama, ada sisi yang merapuhkan.
Menurut Fakhrul Fulvian, Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas, kesepakatan AS-China memangkas tarif bisa membawa prospek pertumbuhan ekonomi dunia membaik. Kenaikan harga minyak dunia, menjadi salah satu indikator utama penting yang menunjukkan ekspektasi pemulihan permintaan global.
Hanya saja, bagi Indonesia, situasinya akan sedikit lebih sulit karena harga minyak yang mahal bisa membawa defisit neraca berjalan jadi makin lebar.
Selain itu, ketika skenario resesi global makin ditinggalkan akibat perang dagang yang mendingin, itu berarti peluang kecil juga bagi bank sentral AS, Federal Reserve, memangkas bunga acuan.
Yield US Treasury, surat utang AS, yang makin tinggi juga kebangkitan lagi indeks dolar AS, akan membuat aliran modal asing masuk ke dalam negeri kembali tersendat. Dalam jangka pendek, rupiah kemungkinan akan tertekan menurut ekonom.
"Pelemahan rupiah ke level Rp16.600/US$ adalah hal yang wajar, tapi bukan waktunya untuk membeli dolar karena secara fundamental rupiah masih bisa menguat lebih jauh menuju akhir tahun," jelas Fakhrul.
Di pasar offshore, rupiah NDF sempat menyentuh level Rp16.723/US$ ketika indeks dolar AS melompat dengan kenaikan terbesar sehari sejak Pemilu AS pada November lalu.

Rupiah potensial mendapatkan sokongan bila ada aliran masuk dolar AS lebih besar, termasuk dari penerbitan surat utang pemerintah berdenominasi valuta asing.
"Kalau pemerintah menerbitkan global bond lebih banyak, baik dalam USD ataupun mata uang lainnya akan memberikan dampak positif lewat peningkatan cadangan devisa, kata Fakhrul.
Berkaca pada tahun-tahun sebelumnya, Pemerintah RI biasanya merilis global bond pada kuartal II. Pada kuartal pertama lalu, tepatnya pada Januari, pemerintah telah menarik utang baru dari penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dalam denominasi dolar Amerika Serikat dan euro, senilai US$ 2 miliar dan EUR 1,4 miliar.
Sementara pada 2024, penerbitan global bond sebanyak empat kali baik dalam mata uang dolar AS, euro maupun yen Jepang.
Pada perdagangan di pasar forward Selasa sore ini, setelah pasar Eropa dibuka, rupiah NDF diperdagangkan di kisaran Rp16.686/US$, menguat 0,22% setelah pada hari sebelumnya melemah tajam hingga menyentuh Rp16.723/US$ usai hasil kesepakatan dagang AS-Tiongkok diumumkan.
(rui)