Logo Bloomberg Technoz

Hal pertama yang harus menjadi perhatian pemerintah adalah ongkos pengapalan yang berbeda lantaran jarak Jakarta—AS dua kali lipat lebih jauh dari Jakarta—Singapura.

“Shipping cost akan jauh lebih mahal. Impor BBM dari Amerika belum tentu lebih ekonomis,” ujarnya saat dihubungi. 

Kedua, hal yang juga perlu diperhatikan adalah kesesuaian spesifikasi BBM yang ada di AS. Pemerintah dinilai perlu memastikan kriteria barang yang akan dibeli dari Negeri Paman Sam selaras dengan yang biasa dikonsumsi di dalam negeri.

“Apakah persis sama dengan yang beredar di sini apa tidak? Ini terkait juga dengan konfigurasi kendaraan yang biasa kita pakai di sini,” terang Hadi, yang juga Direktur Utama PT Petrogas Jatim Utama Cendana (PJUC).

Ketiga, faktor harga. Hadi mengatakan—menurut informasi yang dia dapatkan — dalam mengimpor BBM, biasanya PT Pertamina Kilang Internasional (KPI) melakukan kontrak anual yang bisa diperpanjang lagi, melalui proses tender terbuka.

“Hanya sekali-sekali saja [impor melalui pasar] spot dalam kondisi tertentu. Harga spot akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga kontrak dalam term and condition normal,” tutur Hadi.

Untuk itu, dia menyarankan agar impor BBM dari AS nantinya tetap menggunakan kontrak minimal setahun dan bisa diperpanjang, alih-alih membeli dari pasar spot, untuk mendapatkan harga yang lebih masuk akal.

Pembelian pun mesti dilakukan melalui mekanisme tender terbuka yang diikuti perusahaan dari Amerika, sehingga KPI mendapatkan harga terbaik.

“Usahakan deal langsung dengan perusahaan yang punya kilang, sehingga komitmen suplai lebih terjamin dan aman. Hindari deal dengan trader, apalagi trader abal-abal yang mungkin akan menimbulkan masalah. Pastikan supplier dari Amerika benar-benar memenuhi spek BBM yang ada di Indonesia,” tegas Hadi.

Baru-baru ini, Bahlil memasitkan Indonesia akan menghentikan impor BBM dari Singapura dan mengalihkannya ke negara lain seperti AS hingga Timur Tengah.

“Bukan kata mungkin lagi nih, sudah hampir pasti. Jadi kita akan mengambil minyak dari negara lain, yang bukan dari negara itu [Singapura]. [Impor] salah satu negaranya AS,” kata Bahlil ditemui di Kementerian ESDM, Jumat (9/5/2025)

Rencana tersebut akan dieksekusi dalam waktu enam bulan ke depan, sembari saat ini Pertamina tengah membangun dermaga agar dapat menampung kapal yang besar lagi.

"Kalau [impor] dari Singapura kan kapalnya yang kecil-kecil. Itu juga salah satu alasan. Jadi kita membangun yang besar, supaya satu kali angkut, enggak ada masalah. Maka, pelabuhan yang lebih besar dan kedalamannya harus dijaga," ujarnya.

Dia menyebutkan saat ini porsi impor dari Singapura sebesar 54%—59% dari total konsumsi BBM Indonesia, yang ditaksir mencapai 1,6 juta barel per hari per 2024.

Bukan tidak mungkin, tegas Bahlil, ke depannya tidak ada impor BBM sama sekali oleh Indonesia dari Negeri Singa, yang dinilainya cenderung lebih mahal sekalipun jaraknya lebih dekat. 

Namun, pengurangan volume impor tersebut menurutnya akan dilakukan secara bertahap. “Bertahap ya. Tahap sekarang mungkin bisa sampai 50% mungkin suatu saat akan nol,” tuturnya.

Bahlil menjelaskan pengalihan impor BBM dari Singapura ke AS juga merupakan bagian dari upaya negosiasi untuk menghindari pengenaan tarif resiprokal oleh Presiden AS Donald Trump.

“Mengalihkan sebagian bukan semuanya, kan kita sudah mempunyai perjanjian dengan Amerika. Salah satu di antara yang kita tawarkan itu adalah kita harus membeli beberapa produk dari mereka. Di antaranya adalah BBM, crude [minyak mentah], dan LPG [gas minyak cair],” jelas Bahlil.

Menurut dia, alasan pemerintah mengalihkan impor BBM dari Singapura ke AS di antaranya karena persoalan geopolitik dan geoekonomi.  “Kita kan harus juga membuat keseimbangan bagi yang lain."

Dia pun menegaskan penyetopan impor BBM dari Singapura tidak akan melalui terminasi kontrak karena Indonesia selama ini membeli dari pasar spot.

"Impor itu enggak ada kontrak [jangka panjang]. Impor itu adalah spot, [di mana] barang ada, dibeli. Jadi bukan berarti putus kontrak dalam waktu sekian," tegasnya.

Menurut data bea cukai Global Trade Tax (GTT), impor BBM—khususnya jenis gasoline atau bensin — Indonesia memecahkan rekor tertinggi secara bulanan pada Desember 2024.

Indonesia terpantau mengimpor 475.000 barel gasoline per hari pada Desember, melesat 29% dari bulan sebelumnya dan 24% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Secara kumulatif, Indonesia mengimpor 378.500 barel gasoline per hari sepanjang 2024, naik dari 369.000 barel gasoline per hari tahun sebelumnya.

Singapura—yang notabene merupakan sentral pencampuran bensin utama di kawasan Asia Tenggara — terus menjadi pemasok utama BBM impor Indonesia dengan pembelian sebanyak 279.000 barel gasoline per hari pada Desember, diikuti oleh Malaysia dengan 97.000 barel per hari, menurut catatan Argus Media.

“Alasan lonjakan permintaan impor tidak dapat dipastikan, tetapi bisa jadi karena peningkatan permintaan bensin RON 92 Indonesia karena pemerintah berupaya memberlakukan pembatasan untuk memastikan bahan bakar bensin RON 90 bersubsidi masuk ke kelompok ekonomi sasaran,” papar lembaga tersebut.

(ain)

No more pages