Logo Bloomberg Technoz

Pada 2024, pengembangan LTJ perseroan difokuskan pada pencarian mitra teknologi untuk mempercepat pengolahan monasit menjadi produk Mix Rare Earth Carbonate. 

"Untuk mendukung pengembangan teknologi pengolahan monasit, PT Timah bekerja sama dengan berbagai lembaga mitra teknologi, baik dari dalam negeri maupun luar negeri," terang Dicky.

Ke depannya, TINS uga berencana untuk membangun pabrik pengolahan LTJ skala komersial dengan bahan baku dari monasit sebagai mineral ikutan timah.

Perusahaan juga akan meningkatkan kolaborasi strategis dengan mitra teknologi untuk percepatan penguasaan teknologi pengolahan LTJ.

"Dengan adanya pengembangan REE [rare earth element] di dalam negeri, PT Timah berupaya untuk memperluas rantai pasok industri berbasis sumber daya alam mineral nasional," tambah Dicky.

Sementara itu, Wakil Direktur Utama PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID) Dany Amrul Ichdan menyebut fokus utama saat ini adalah revitalisasi dan modifikasi proyek pilot tersebut sebagai fasilitas pengolahan monasit untuk dapat dimanfaatkan kembali sebagai bagian dari pengembangan LTJ.

Dia berharap PT Timah dapat cepat menciptakan nilai tambah melalui industrialisasi LTJ berbasis mineral ikutan dari penambangan timah.

Terlebih, LTJ sangat dibutuhkan oleh industri-industri strategis seperti magnet permanen, baterai hybrid, elektronik, dan katalis.

"Rare earth element ini terdiri dari 15 unsur, dengan unsur dominan anatara lain cerium, lantanum, neodymium dan praseodimium. Dengan pengembangan rare earth ini, kami yakin Indonesia mampu menjadi basis bagi pengembangan ekosistem industri strategis masa depan," ujarnya.

Untuk diketahui, Dewan Energi Nasional (DEN) pernah menggungkapkan proyek PLTN perdana di Indonesia kemungkinan bakal menggunakan bahan baku radioaktif thorium, bukan uranium.

Adapun, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESD) menargetkan PLTN perdana Indonesia dapat beroperasi pada 20230, atau berpeluang lebih cepat dua tahun dari target komersialisasinya yang ditetapkan pada 2032 dan lebih awal dari rencana semula pada 2039.

Meski penggunaan thorium – yang kerap dijuluki sebagai 'nuklir hijau' – untuk PLTN masih belum lazim di dunia, Indonesia sudah mulai menelitinya melalui teknologi dan laboratorium yang dikembangkan oleh PT ThorCon Power Indonesia.

“Itu sudah kerja sama dengan ITB [Institut Teknologi Bandung], nilainya US$10 miliar peralatan laboratoriumnya, dan sekarang dilakukan uji coba terus di ITB. Sekarang sedang dilakukan [uji coba] materialnya. Itu kan karena teknologinya berbasis MSR [molten salt reactor],” ujar Sekjen DEN saat itu, Djoko Siswanto, akhir November 2023.

Djoko mengelaborasi teknologi MSR menggunakan komponen garam yang bersifat sangat korosif. Saat ini, laboratorium tersebut tengah menguji material yang sanggup tahan korosi hingga 80 tahun, karena umur PLTN yang dirancang di Indonesia adalah sekitar 8 dekade.

“Nanti sebelum kita implementasikan [PLTN-nya] secara komersial, harus uji coba laboratorium dahulu, kemudian uji coba di lapangan sebelum dikomersialkan. Jadi ada tiga tahap; laboratorium, pilot project, baru komersial. Tidak langsung komersial.”

Terkait dengan suplai thorium yang akan digunakan sebagai bahan baku tenaga nuklir, Djoko menyebut untuk sementara Indonesia masih harus mengimpor terlebih dahulu.

Akan tetapi, kata Djoko, di dalam negeri PT Timah sudah mulai melakukan uji coba untuk memproduksi thorium. 

“Namun, untuk tahap awal impor dahulu,” ujar Djoko, tanpa mengelaborasi volume impor thorium yang diperlukan untuk uji coba pembangkit nuklir.

(wdh)

No more pages