Dalam kesempatan tersebut, Perry juga menanggapi laporan Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) yang memproyeksi defisit neraca transaksi berjalan Indonesia akan melebar hingga ke level 1,5% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2025, dibanding pada 2024 yang hanya 0,6%.
Perry memperkirakan defisit transaksi berjalan pada neraca pembayaran Indonesia hanya akan bergerak di level rendah pada 2025, yakni di kisaran 0,5%-1,3% terhadap PDB.
"Kenapa angkanya beda (proyeksi IMF dan BI)? Tentu saja berdasarkan assessment-assessment perbedaan bagaimana menganalisa dinamika kebijakan tarif yang diterapkan oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) kepada berbagai negara, termasuk China," kata Perry.
Perry mengaku mendasarkan analisisnya sesuai dengan kebijakan pemerintah AS pada 9 April 2025, yakni kebijakan tarif resiprokal diperlakukan untuk China, sementara untuk negara-negara lain ditunda 90 hari.
"Kami perhitungkan yang kami peruntungkan adalah pernyataan itu dan kami hitung efektif tarifnya berapa dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi dunia AS dan China," tegas Perry.
Tak hanya pernyataan pemerintah AS, dia menambahkan bank sentral juga mempertimbangkan analisis-analisis lain, terutama hal yang berdampak pada seberapa besar ekspor ke Indonesia, dampak-dampak langsung terhadap AS dan dampak tidak langsung ekspor Indonesia dengan China.
Sebelumnya, IMF memproyeksikan defisit neraca transaksi berjalan atau current account makin dalam menjadi 1,5% pada 2025 dan 1,6% pada 2026. Defisit diperkirakan melebar dibanding neraca transaksi berjalan pada 2024 yang defisit 0,6%.
Sekadar catatan, neraca transaksi berjalan adalah neraca yang meliputi perdagangan barang dan jasa, penghasilan serta transfer berjalan. Bank Indonesia melaporkan transaksi berjalan mencatat defisit sebesar US$1,1 miliar, ATAU 0,3% dari PDB pada kuartal IV-2024.
Direktur Departemen Riset IMF Pierre-Oliver Gourinchas menyoroti banyak pengumuman tarif telah dibuat, dengan pungutan yang hampir universal dari AS dan tarif balasan dari beberapa mitra dagang sejak 2 April 2025.
IMF mengatakan ketegangan ini akan berdampak besar pada perdagangan global. Dengan demikian, lembaga tersebut memproyeksikan pertumbuhan perdagangan global akan berkurang setengahnya dari 3,8% pada tahun lalu, menjadi 1,7% pada tahun ini.
(lav)




























