Langkah ini dimungkinkan karena PGEO memiliki kas melimpah pasca IPO. Meski demikian, upaya buyback harus berhati-hati agar porsi saham publik (free float) tidak jatuh di bawah ketentuan minimum 10%. Pertimbangan buyback ini menunjukkan betapa lesunya performa saham PGEO hingga mendorong manajemen turun tangan menjaga kepercayaan investor.
Kinerja Keuangan Stagnan
Lesunya harga saham sejalan dengan kinerja fundamental PGEO yang nyaris stagnan. Setelah IPO, pertumbuhan pendapatan dan laba perusahaan tidak signifikan, jauh di bawah ekspektasi awal saat perusahaan mencari pendanaan untuk ekspansi.
Sepanjang 2023, PGEO membukukan pendapatan sekitar US$406,3 juta, hanya tumbuh 5,2% dari 2022, dengan laba bersih US$163,6 juta.
Pertumbuhan tipis ini berlanjut memasuki 2024. Laporan per September 2024 menunjukkan performa yang flat dibanding tahun sebelumnya:
- Pendapatan US$306,02 juta, turun tipis 0,7% dibanding periode yang sama tahun 2023.
- Laba bersih US$133,99 juta hingga kuartal III-2024, nyaris sama (+0,36%) dari US$133,50 juta year-on-year. Laba per saham dasar praktis stagnan di kisaran US$0,0032.
- Laba usaha terkumpul US$210 juta, turun 2,76% dari tahun sebelumnya, seiring laba kotor yang tergerus 4,5% akibat beban pokok yang meningkat.
Kenaikan biaya operasional dan beban pokok penjualan tanpa diimbangi pertumbuhan pendapatan membuat margin PGEO tertekan. Pendapatan yang turun sedikit namun beban meningkat (contoh: beban pokok naik dari US$126,2 juta menjadi US$132,2 juta pada 9 bulan 2024) telah mengurangi laba kotor perusahaan.
Alhasil, laba bersih nyaris tidak bertumbuh. Konsensus analis pun memproyeksikan prospek setahun penuh 2024 yang kurang menggembirakan – laba bersih diperkirakan hanya naik sekitar 1,1% menjadi ~US$165 juta, dengan EBITDA justru turun dari US$375,8 juta (2023) menjadi US$340,3 juta (2024) dan pendapatan operasi turun 5% year-on-year.
Angka-angka ini mengindikasikan pertumbuhan PGEO yang mandek; performa keuangan perusahaan belum mampu memberi katalis positif bagi pergerakan sahamnya.
Konsensus Pasar
Berdasarkan konsensus pasar yang dihimpun Bloomberg, 9 dari 11 analis (81,82%) memberi rekomendasi beli atau buy terhadap saham PGEO. Sementara 2 sisanya (18,18%) merekomendasikan tahan alias hold.
Untuk 12 bulan ke depan, konsensus pasar menghasilkan target harga saham PGEO di Rp1.236. Artinya, ada potensi kenaikan 47,1% dari posisi saat ini.
Untuk 2025, pasar memperkirakan laba bersih PGEO akan sebesar US$168,8 juta. Naik 5,17% dibandingkan tahun lalu.
Adapun pendapatan diperkirakan US$439,8 juta tahun ini. Tumbuh 8,03% dari posisi 2024.
Beban Utang dan Leverage Menggunung
Di balik laba yang stagnan, beban utang PGEO juga mendapat sorotan. Ekspansi bisnis panas bumi membutuhkan modal besar, dan perusahaan menanggung kewajiban yang signifikan pasca IPO.
Per September 2024, total liabilitas PGEO tercatat US$964,65 juta (sekitar Rp14–15 triliun), memang sedikit turun dari posisi akhir 2023 sebesar US$992,9 juta.
Dengan ekuitas sekitar US$1,98 miliar, rasio utang terhadap ekuitas PGEO berada di kisaran 0,5 kali – menandakan leverage yang cukup tinggi. Beban bunga utang pun membebani laba: hingga kuartal III 2024, beban keuangan mencapai US$16,79 juta (meski sedikit berkurang dari US$18,29 juta tahun sebelumnya).
Artinya, puluhan juta dolar laba operasi habis untuk membayar bunga pinjaman, mengurangi profitabilitas bersih perusahaan.
Ironisnya, di tengah utang yang besar, PGEO justru menimbun kas hasil IPO yang belum terserap ke investasi produktif. Manajemen mengungkapkan bahwa sekitar Rp4,47 triliun dana IPO masih menganggur hingga awal 2025.
Dana ini sementara ditempatkan dalam deposito berdenominasi dolar AS – sebesar US$200 juta di Bank BTN dengan bunga 6,05%, dan sisa ~US$76,77 juta di Bank Mandiri dengan bunga 5,71%.
Langkah ini menunjukkan posisi likuiditas PGEO sebenarnya kuat (kas setara ~US$657,6 juta), tetapi juga menyoroti sulitnya perusahaan menemukan proyek ekspansi yang layak sesuai rencana semula.
Uang hasil IPO yang seharusnya dipakai untuk ekspansi akhirnya parkir di bank, sementara utang berbunga tetap membebani. Kombinasi utang tinggi dan idle cash mencerminkan struktur permodalan PGEO yang kurang optimal: leverage perusahaan besar, tetapi return on investment justru tersendat karena ekspansi tertunda.
Tantangan Ekspansi Proyek Geothermal
Sebagai pemain BUMN di sektor energi terbarukan, PGEO dicanangkan menjadi motor pengembangan panas bumi nasional. Saat IPO, perusahaan menargetkan ekspansi agresif – termasuk rencana menggandakan kapasitas terpasang pada 2027-2028, yang diperkirakan membutuhkan belanja modal sekitar US$4 miliar.
Dalam jangka menengah, PGEO membidik kapasitas terpasang 1 Gigawatt (GW) pada 2026, naik dari sekitar 672,5 Megawatt (MW) kapasitas eksisting, serta peningkatan hingga tambahan 600 MW dalam lima tahun ke depan. Namun, realisasi rencana ekspansi ambisius ini jauh dari mulus. Tantangan pendanaan dan eksekusi membuat proyek-proyek baru berjalan lamban.
Dari alokasi belanja modal 2024 sekitar US$547 juta, sebesar US$300 juta diantaranya disiapkan untuk ekspansi anorganik (akuisisi).
Namun, dua rencana akuisisi besar yang dibidik akhirnya dibatalkan setelah melalui evaluasi kelayakan.
“Setelah kami tinjau ulang beberapa rencana ekspansi anorganik... kami menyetujui untuk tidak melanjutkan aktivitas M&A tersebut di 2024 ini,” jelas Yusrizki Rio, Direktur Keuangan PGEO. Ia mengkonfirmasi bahwa dana akuisisi ~US$300 juta (sekitar Rp4,7 triliun) tersebut tidak akan terserap tahun ini.
Salah satu target ekspansi yang urung dieksekusi adalah akuisisi aset PLTP di Turki (melalui Kipas Holding) dan satu aset domestik. PGEO sempat dikaitkan dengan rencana akuisisi PLTP Sorik Marapi di Sumatra Utara senilai sekitar US$1 miliar (Rp15 triliun) tetapi rencana ini juga tak terwujud.
Gagalnya akuisisi-akuisisi tersebut mengindikasikan tantangan besar dalam ekspansi anorganik – baik karena valuasi yang mahal, isu due diligence, maupun risiko operasi yang tak sesuai kriteria PGEO.
Dengan tersendatnya ekspansi anorganik, PGEO harus mengandalkan ekspansi organik (pengembangan sendiri) di wilayah kerja panas bumi yang dimiliki.
Tantangan di sini pun tidak ringan. Proyek geothermal terkenal berisiko tinggi dan berbiaya mahal di tahap awal: eksplorasi sumber panas bumi membutuhkan pengeboran sumur dalam yang biaya per sumurnya bisa puluhan juta dolar, dengan ketidakpastian menemukan cadangan uap yang ekonomis.
Selain itu, pengembangan PLTP baru memerlukan proses perizinan dan studi lingkungan yang kompleks, sering kali memakan waktu lama.
Serapan capex PGEO hingga kuartal III 2024 baru mencapai Rp1,8 triliun – indikasi lambannya progres proyek dibanding target investasi tahunan.
Sementara itu, rencana konsolidasi aset panas bumi BUMN (seperti integrasi dengan PT Geo Dipa Energi) yang diharapkan mempercepat pengembangan sektor ini, juga belum terealisasi. PGEO memang menjajaki peluang ekspansi internasional (misalnya kerjasama pengembangan dua blok geothermal di Kenya), tetapi proyek tersebut masih dalam tahap sangat awal dan penuh ketidakpastian.
Prospek fundamental PGEO ke depan karenanya menghadapi ujian berat. Perusahaan memiliki target ambisius kapasitas 1,5 GW pada 2030, tetapi untuk mencapainya PGEO harus menggelontorkan investasi masif, mengeksekusi proyek tepat waktu, dan mengatasi berbagai rintangan teknis maupun regulasi. Sementara itu, dalam jangka pendek hingga menengah, pendapatan PGEO berpotensi tetap stagnan jika proyek baru belum berkontribusi signifikan.
Dengan beban utang yang tetap tinggi dan sebagian dana menganggur, return on equity PGEO bisa terpukul apabila ekspansi tertunda lebih lama. Para analis pun cenderung berhati-hati.
Pertumbuhan laba 2024 yang “tumbuh terbatas” menandakan ekspektasi pasar yang rendah. Jika perusahaan gagal mempercepat ekspansi dan meningkatkan kinerja keuangan, tekanan terhadap harga saham mungkin akan berlanjut.
Dari debutnya yang datar hingga kinerja terkini yang mandek, Pertamina Geothermal Energy menghadapi tantangan nyata dalam memenuhi ekspektasi pasca IPO. Harga saham PGEO yang terpuruk di bawah harga IPO mencerminkan keraguan investor terhadap prospek perusahaan saat ini.
Fundamental perusahaan – mulai dari pendapatan yang tak kunjung tumbuh signifikan, margin tertekan, beban utang besar, hingga ekspansi proyek yang tersendat – semuanya menjadi pekerjaan rumah manajemen ke depan. Sebagai pionir panas bumi milik negara, PGEO memang memiliki modal dan dukungan untuk tumbuh, namun realisasi target ambisiusnya masih jauh dari pasti.
Nada kritis menyelimuti emiten ini: pasar menanti langkah konkret perbaikan kinerja dan percepatan ekspansi. Tanpa itu, awan negatif bisa terus menaungi PGEO, dan kepercayaan investor akan sulit pulih.
(riset)
































