“Kalau kita cara berpikirnya sudah mulai generalisasi kayak gitu, sudah jelas ini bakalan kacau balau [proyek kilang yang dirancang pemerintah]. Kalau semua digeneralisasi harus kilang mini, harus 60.000 bph, ya sudah itu pasti ya saya yakin bakalan kacau balau,” kata Moshe saat dihubungi, dikutip Selasa (8/4/2025).
“Semua harus disesuaikan dengan kondisi di lapangan, kebutuhannya, suplainya, logistiknya dan lain sebagainya dan enggak ada yang pukul rata semuanya.”
Estimasi Waktu
Moshe menjelaskan pembangunan sebuah kilang minyak dapat menghabiskan waktu tiga hingga lima tahun. Jika pemerintah akan membangun kilang dengan konsep menyebar di berbagai wilayah, waktu yang dibutuhkan bakal lebih panjang.
“Jadi itu harus ada kombinasi yang gede juga ada, yang kecil juga ada. Bayangkan saja bangun ratusan kilang ini yang kapasitasnya 60.000 barel. Intinya kapasitas kilang itu disesuaikan dengan produksi minyaknya dan juga konsumennya,” ujarnya.
Di sisi lain, rencana pemerintah untuk membangun kilang terintegrasi dengan kompleks petrokimia (petrochemical complex) juga perlu disesuaikan karena produk yang dihasilkan oleh kilang dan petrokimia akan berbeda. Ditambah, tidak semua wilayah membutuhkan produk petrokimia.
Dia mencontohkan kilang nantinya akan menghasilkan beberapa jenis bahan bakar minyak (BBM), sementara petrokimia dapat menghasilkan puluhan produk. Menurutnya, kilang kecil akan sulit dibangun bersamaan dengan kompleks petrokimia.
“Jadi enggak bisa misalkan kilang minyak ada produksi avtur kalau di situ enggak ada airport, enggak ada yang beli. Berarti kan semua harus dikirim ke area yang ada konsumennya. Sedangkan petrokimia itu lebih banyak lagi produk komponen hasilnya. Apakah semuanya dibutuhkan di area tersebut? Kan enggak juga,” jelasnya.
Konsep Teapots
Konsep pembangunan kilang spot dengan kapasitas kecil dan lokasi menyebar sebetulnya telah dilakukan oleh China, dengan istilah teapots.
Teapot refineries adalah kilang minyak kecil yang dimiliki oleh perusahaan swasta di China, dan biasanya memiliki kapasitas di bawah 100.000 bph, serta biasanya berlokasi di daerah perdesaan.
Kilang-kilang teapots ini memainkan peran penting dalam industri minyak China, karena mereka bertanggung jawab untuk memasok sebagian besar minyak mentah dan produk minyak yang dikonsumsi di China.
Namun, berbeda dengan kilang reguler, industri kilang spot cenderung lebih rentan mengalami guncangan saat terjadi anomali di pasar minyak, sebagaimana tengah dialami oleh banyak teapots di Negeri Panda sejak awal tahun ini.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia sebelumnya mengatakan pemerintah tengah mempertimbangkan skenario membuat kilang berkapasitas kecil sekitar 60.000 bph, tetapi berjumlah banyak.
Skenario ini, menurut Bahlil, menelan investasi yang lebih ringan untuk tiap unitnya dibandingkan dengan membangun satu unit dengan kapasitas raksasa.
“Ada sekarang, [kilang] per spot ada yang per 60.000 bph. Nah, sekarang feasibility study finalnya lagi dibuat. Nah, itu jauh lebih murah. Kalau kilang per 60.000 bph itu jauh lebih murah, harganya sekitar US$600 juta—US$700 juta. Jadi kalau kita compile menjadi 500.000 bph itu tidak lebih dari US$6 miliar,” katanya ditemui di sela acara Pelepasan Mudik Bareng Sektor ESDM 2025, Kamis (27/3/2025).
Skema tersebut, lanjut Bahlil, menggunakan metode pembangunan per titik atau spot. Dia menyebut saat ini pemerintah sedang melakukan studi terhadap negara-negara yang sudah memakai skenario tersebut, khususnya di wilayah Amerika Latin dan Afrika.
Dengan asumsi skenario tersebut, kata Bahlil, proyek kilang dengan kapasitas kumulatif 1 juta bph kemungkinan akan dibangun secara tersebar di banyak lokasi di Tanah Air.
“Iya, karena begini, negara kita ini kan negara kepulauan. Negara kepulauan yang memang kita harus mempertimbangkan aspek logistik. Nah, kita lagi menghitung apakah memang lebih ekonomis dan tepat di satu tempat, atau kita akan buat per spot-spot,” jelasnya.
(wdh)

































