Logo Bloomberg Technoz

Hendra berpendapat jika pemerintah memaksakan investasi gasifikasi batu bara menjadi DME sebagai program mandatori bagi perusahaan batu bara, tidak menutup kemungkinan pula produk substitusi yang dihasilkan justru bakal lebih mahal dari LPG.

Walhasil, hal tersebut malah akan menjadi kontraproduktif dengan tujuan pemerintah mengembangkan DME untuk menekan anggaran impor dan subisidi LPG

“Kalau dia jual produk DME, nanti kan akan menggantikan LPG, nah itu bagaimana harga DME-nya ditetapkan? Itu kan juga tidak mudah kalau harganya tidak ekonomis. Ngapain orang beli DME? Dia mending beli LPG. Ngapain orang investasi di situ kalau harganya enggak menarik?” kata Hendra.

Kepastian Hukum

Untuk berinvestasi di proyek gasifikasi yang mahal tersebut, padahal, pengusaha batu bara juga membutuhkan kepastian hukum dan harga dalam jangka panjang.

Hendra menyebut tidak ada pengusaha batu bara yang mau masuk ke investasi hilirisasi batu bara jika tiap 2—3 tahun terjadi perubahan aturan atau harga, sementara mereka harus berproduksi selama 20 tahun.

“Jadi, hilirisasi batu bara sih masih panjang [prosesnya], karena nilai tambah dari batu bara itu ya di listrik. Kan main listrik, batu bara itu untuk listrik,” tegasnya.

Setala, Penasihat Khusus Presiden urusan Energi Purnomo Yusgiantoro mengatakan netback dari DME, sebagai produk akhir dari hilirisasi batu bara, tidak bisa bersaing dengan LPG yang berasal dari impor dan mendapatkan subsidi dari pemerintah.

Sekadar catatan, nilai netback adalah probabilitas harga tertinggi yang bersedia dibayar konsumen atau pembeli untuk mendapatkan sumber energi tertentu.

Masalah tersebut lah yang melandasi hengkangnya investor asal Amerika Serikat (AS), Air Products & Chemical Inc (APCI), pada proyek penghiliran batu bara menjadi DME oleh PT Bukit Asam (Persero) Tbk (PTBA), yang menyebabkan megaproyek substitusi impor LPG itu terkatung-katung hingga saat ini.

“Ada satu studi, kenapa kok [APCI] pull out di Sumatra Selatan? Dihitung netback. Dihitung kalah [bersaing dengan LPG impor]. Kecuali harga batu bara di itu US$15/ton. Kalau ini US$15 dia compatible dengan harga LPG,” ujar Purnomo dalam agenda Tinjauan Kebijakan Mendukung Transisi Energi dan Target Pertumbuhan Ekonomi Pemerintahan Baru, akhir Oktober.

Purnomo menggarisbawahi perbandingan antara LPG dengan DME—yang sebenarnya juga digadang-gadang sebagai pengganti LPG — tidak berada pada level yang sama atau apple to apple.

Untuk diketahui, proyek strategis nasional (PSN) gasifikasi batu bara menjadi DME yang memiliki taksiran nilai investasi US$2,1 miliar tersebut pada awalnya memang diharapkan menjadi program mercusuar untuk menekan beban subsidi LPG senilai Rp7 triliun per tahun.

Proyek DME oleh PTBA dan APCI itu sejatinya direncanakan selama 20 tahun di wilayah Bukit Asam Coal Based Industrial Estate (BACBIE) yang berada di mulut tambang batu bara Tanjung Enim, Sumatra Selatan. BACBIE akan berada di lokasi yang sama dengan PLTU Mulut Tambang Sumsel 8.

Dengan mendatangkan investasi asing dari APCI, proyek itu mulanya digadang-gadang sanggup menghasilkan DME sekitar 1,4 juta ton per tahun dengan memanfaatkan 6 juta ton batu bara per tahun. 

Menteri Investasi Bahlil Lahadalia saat konferensi pers di Istana Negara. (Dok. Sekretariat Kabinet)

Lama tak terdengar kabarnya setelah APCI hengkang, hilirisasi batu bara menjadi DME kembali mencuat setelah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengumumkan proyek tersebut masuk dalam daftar program hilirisasi yang akan dibiayai Danantara.

Bahlil mengatakan pemerintah menargetkan pengembangan produksi DME sebagai substitusi impor LPG kali ini akan dijalankan dengan pendekatan berbeda, yakni mengandalkan sumber daya dalam negeri tanpa ketergantungan pada investor asing.

"Sekarang kita tidak butuh investor negara semua lewat kebijakan Bapak Presiden dengan memanfaatkan resource dalam negeri. [Hal] yang kita butuh dari mereka adalah teknologinya, yang kita butuh uangnya capex-nya semua dari pemerintah dan dari swasta nasional, kemudian bahan bakunya dari kita, dan off taker-nya pun dari kita,” jelas Bahlil usai rapat di Istana Negara, Senin (3/3/2025).

Bahlil menyebutkan bahwa proyek DME akan dikembangkan secara paralel di Sumatra Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan.

Selain DME, pemerintah juga akan meningkatkan nilai tambah di sektor pertambangan, seperti tembaga, nikel, dan bauksit hingga menjadi alumina. Sektor perikanan, pertanian, dan kehutanan pun turut menjadi bagian dari prioritas hilirisasi.

Sebanyak 21 proyek hilirisasi tahap pertama dengan total investasi mencapai US$40 miliar atau sekitar Rp659,2 triliun tercatat akan dibiayai oleh Danantara.

-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi dan Dovana Hasiana

(red/wdh)

No more pages