Bursa Asia lain yang juga menapaki jalur merah, menyusul KOSPI (Korea Selatan), Topix (Jepang), SETI (Thailand), Hang Seng (Hong Kong), Ho Chi Minh Stock Index (Vietnam), Straits Time (Singapura), SENSEX (India), dan KLCI (Malaysia) yang terpangkas amat signifikan dengan masing-masing drop 2,70%, 2,58%, 1,86%, 0,92%, 0,76%, 0,63%, 0,57%, dan 0,29%
Sementara itu, hanya PSEI (Filipina) yang berhasil menguat dengan kenaikan 1,50%.
Bursa Saham Asia tersengat momentum pelemahan di Bursa Saham Amerika Serikat. Pada perdagangan sebelumnya, tiga indeks utama di Wall Street kompak ditutup melemah. Nasdaq Composite, S&P 500, dan Dow Jones Industrial Average masing-masing ambles mencapai 0,28%, 0,50%, dan 0,75%.
Sentimen yang mewarnai laju Bursa Asia hari ini datang dari global yang semakin meningkat ketidakpastiannya imbas sentimen risk-off di hampir semua kawasan karena memanasnya perang tarif antara Amerika Serikat, Donald Trump, dengan negara-negara yang ia targetkan, mulai dari China, Kanada, juga Meksiko.
Negara-negara itu tak terima dengan perlakuan Trump dan bersiap membalas dengan pengenaan tarif yang sama. China juga berniat membawa masalah perang tarif itu ke World Trade Organization (WTO) yang mengatur perdagangan global.
Sebuah langkah yang terlihat menjadi awal dari serangkaian pembatasan perdagangan yang diproyeksikan akan merombak rantai pasokan global.
Donald Trump memberlakukan tarif umum sebesar 25% untuk Kanada dan Meksiko serta 10% untuk barang-barang dari China. Kebijakan ini memicu ancaman balasan dari negara-negara yang terdampak.
Seperti yang diwartakan Bloomberg News, ketegangan perdagangan yang meningkat dengan cepat mendorong investor beralih ke aset-aset safe haven di tengah ketidakpastian ekonomi global, termasuk dampaknya terhadap inflasi dan kebijakan Bank Sentral.
“Pasar harus secara struktural dan signifikan memperhitungkan kembali risiko perang dagang,” tulis George Saravelos, Kepala Riset Valas Deutsche Bank, dalam sebuah catatan kepada kliennya.
Dampak ini mungkin tidak terasa secara langsung, tetapi dalam jangka menengah hingga panjang daya beli masyarakat diperkirakan akan tertekan, kata James Knightley, Kepala Ekonom internasional ING, dalam sebuah catatan analis.
(fad/wep)

































