Logo Bloomberg Technoz

Di komunitas seperti Little Village, Chicago, tempat penampungan di New York, hingga restoran di Washington, DC, banyak migran dilanda ketakutan, dengan sebagian besar memilih menghindari aktivitas di luar rumah.

"Saya takut, tetapi saya harus keluar. Saya harus bekerja," ujar Diana Medrica, yang melarikan diri dari Venezuela bersama suami dan anaknya setahun lalu, di luar sebuah tempat penampungan di Brooklyn. "Kalau petugas imigrasi muncul, saya tidak tahu harus bagaimana."

Trump juga berencana melakukan operasi deportasi terbesar dalam sejarah AS, menargetkan sekitar 11 juta orang yang berada di negara itu secara ilegal. Ia bahkan telah mendeklarasikan keadaan darurat nasional di perbatasan selatan, dengan laporan AP menyebutkan Pentagon akan mengerahkan hingga 1.500 pasukan aktif. Trump juga mengumumkan rencana untuk membatasi kewarganegaraan berdasarkan tempat lahir bagi anak-anak imigran ilegal, yang telah memicu gugatan hukum dari negara-negara bagian yang dikuasai Partai Demokrat.

Potret penangkapan imigran di AS. (Sumber: Bloomberg)

Di New York, Departemen Kepolisian (NYPD) mengingatkan petugas bahwa aturan mereka melarang keterlibatan dalam "aksi penegakan imigrasi oleh ICE." Permintaan dari otoritas federal harus melalui tinjauan hukum sebelum mendapatkan bantuan dari NYPD.

Trump juga mencabut kebijakan yang membatasi ICE dan Bea Cukai serta Perlindungan Perbatasan (CBP) untuk melakukan operasi di sekolah, tempat ibadah, rumah sakit, dan acara seperti pernikahan atau pemakaman. Langkah ini menghilangkan perlindungan yang memungkinkan imigran mengakses layanan penting tanpa rasa takut.

Olivia Golden, direktur sementara Center for Law and Social Policy, menyebut kebijakan tersebut dapat menghancurkan stabilitas komunitas. "Tindakan ini berpotensi berdampak buruk bagi keluarga imigran dan anak-anak mereka, termasuk anak-anak warga negara AS, seperti menghalangi mereka mencari layanan medis, bantuan bencana, atau sekadar menjalani aktivitas sehari-hari," katanya.

Selain itu, pemerintahan Trump juga membubarkan Family Reunification Task Force, yang dibentuk era Biden untuk menyatukan kembali anak-anak yang dipisahkan dari orang tua mereka di bawah kebijakan pemisahan keluarga pertama Trump. Sekitar 4.600 anak dipisahkan dari orang tua mereka selama pemerintahan Trump. Per Maret, sekitar 70% telah dipertemukan kembali, menurut laporan DHS.

Amy Fischer, direktur Program Hak Migran dan Pengungsi Amnesty International USA, mengecam langkah tersebut. "Pemisahan keluarga adalah praktik kejam yang secara inheren menimbulkan trauma jangka panjang bagi anak-anak," katanya.

Trump juga menghidupkan kembali kebijakan kontroversial Remain in Mexico, atau Protokol Perlindungan Migran (MPP). Kebijakan ini memaksa pencari suaka menunggu di Meksiko sementara kasus mereka diproses di pengadilan imigrasi AS. Sebagian besar migran yang terkena kebijakan ini akhirnya ditolak permohonannya.

Presiden Meksiko Claudia Sheinbaum tampaknya menerima keputusan AS untuk mengembalikan sebagian migran ke Meksiko, meskipun menyebut bahwa keputusan itu sepenuhnya sepihak. "Ini tidak ada hubungannya dengan ‘negara ketiga yang aman’ dan hal lainnya, tetapi ini adalah pernyataan pemerintah AS. Apa yang harus kami lakukan?" katanya dalam pernyataan resmi. Sheinbaum menegaskan bahwa Meksiko akan bertindak secara manusiawi, termasuk membantu warga negara asing kembali ke negara asal mereka.

Dalam perayaan pelantikan Trump pada Senin (20/01/2025), pemerintahannya juga secara tiba-tiba menghentikan aplikasi CBP One, yang sebelumnya memungkinkan migran menjadwalkan janji temu di sepanjang perbatasan selatan. Langkah ini secara efektif menutup jalur hukum bagi sebagian besar pencari suaka.

(bbn)

No more pages