Selama pemberlakuan darurat militer singkat pada awal Desember, Yoon melarang semua kegiatan politik. Para anggota parlemen menentang dan membatalkan dekret tersebut di Majelis Nasional dalam beberapa jam setelah deklarasi, lalu memakzulkannya kurang dari dua minggu kemudian.
Mengenakan setelan jas biru tua dengan dasi merah, Yoon berinteraksi dengan tim hukumnya selama sidang berlangsung kurang dari dua jam dan sesekali menghentikan pengacaranya berbicara sendiri untuk membela tindakannya dan menentang desakan pencopotannya dari jabatan presiden.
Yoon membantah kesaksian dari komandan militernya bahwa ia memerintahkan pasukan untuk menyingkirkan anggota parlemen yang berkumpul di Majelis Nasional untuk memungut suara pencabutan darurat militer.
Ia juga menyangkal telah memberikan memo kepada Menteri Keuangan Choi Sang-mok, yang saat ini menjabat sebagai penjabat pemimpin negara, bahwa ia memerintahkan adanya rencana anggaran untuk membentuk badan legislatif darurat.
"Saya tidak menyampaikan hal seperti itu. Saya baru mengetahuinya melalui laporan media lama setelah darurat militer dicabut," kata Yoon, merujuk pada memo tersebut.
Pengadilan saat ini memiliki waktu enam bulan untuk memutuskan apakah akan memberhentikan Yoon secara permanen dari jabatannya. Jika persidangan berlangsung sekitar waktu yang sama dengan pemakzulan Park Geun-hye sebelumnya, putusan akan diambil pada paruh pertama Maret.
Yonhap News melaporkan, untuk menjaga kondisi di luar gedung pengadilan tetap kondusif, polisi mengerahkan sekitar 4.000 petugas.

Setelah mengetahui presiden hadir di sana pada Sabtu (18/1/2025), sekitar seratus pendukung Yoon menyerbu Pengadilan Distrik Barat Seoul, memasuki ruangan hakim, dan menghancurkan peralatan dan perlengkapan. Sekira 40 orang dari mereka ditangkap. Pengadilan memperkirakan kerusakan yang ditimbulkan mencapai 700 juta won (US$486.000).
Yoon ditangkap pekan lalu setelah berulang kali mangkir dari panggilan penyelidik untuk diinterogasi, penyelidikan kriminal yang terpisah. Para penyelidik masih berjuang untuk mendapatkan jawaban dari presiden karena dia terus bungkam saat diinterogasi.
Presiden mempersoalkan keabsahan penyelidikan yang dilakukan oleh Kantor Investigasi Korupsi (CIO) untuk Pejabat Tinggi. Ia juga mengatakan bahwa deklarasi darurat militer berada di bawah kewenangan konstitusionalnya.
Jika terbukti bersalah melakukan pemberontakan, Yoon akan menghadapi hukuman maksimal penjara seumur hidup. Ada juga kemungkinan hukuman mati.
Kasus pemakzulan ini sedang ditinjau oleh delapan hakim. Berdasarkan konstitusi Korsel, setidaknya enam hakim harus menyetujui pemecatan Yoon dari jabatannya. Alhasil, Pilpres harus digelar dalam waktu 60 hari sejak putusan.
"Saya sendiri sebagai presiden paling tahu tentang kasus ini," kata Yoon. "Saya akan berbicara jika perlu atau jika Anda memiliki pertanyaan."
Yoon adalah presiden pertama Korsel yang hadir dalam sidang pemakzulan. Pendahulunya, Park dan Roh Moo-hyun, absen dari sidang tersebut.
(bbn)