Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan rupiah, yang saat ini berada di atas level Rp16.000 per dolar Amerika Serikat (AS), tengah menuju keseimbangan baru.

Mengacu data realtime Bloomberg, rupiah dibuka anjlok 0,76% ke level Rp16.213/US$ di pasar spot. Selanjutnya, rupiah makin melemah ke Rp16.225/US$. 

Perry menyoroti ketidakpastian dari global melalui kebijakan AS, khususnya usai Donald Trump terpilih sebagai Presiden AS ke-47.

"Sampai adanya kejelasan dari kebijakan AS, ini proses dari menuju keseimbangan baru, fokus kami adalah stabilitas," ujar Perry dalam konferensi pers, Rabu (18/12/2024).

Perry menegaskan fokus BI saat ini adalah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, dibanding menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate secara agresif pada akhir tahun ini.

BI menyoroti langkah-langkah kebijakan dari presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang akan memperluas cakupan negara, besaran dan cakupan komoditas yang akan dikenakan tarif, karena hal tersebut berpengaruh terhadap stabilitas pasar keuangan global.

Untuk cakupan negara, Perry mengatakan, Bank Indonesia menilai negara-negara tambahan yang berpotensi dikenakan tarif pada perdagangan adalah Jepang, Korea Selatan, Inggris dan negara lain yang memiliki surplus perdagangan yang tinggi dengan AS.

Padahal, AS sebelumnya diproyeksi hanya akan mengenakan tarif kepada lima negara, yakni China, Kanada, Meksiko, Uni Eropa dan Vietnam.

"Indonesia kalau tidak salah ranking 15 [surplus perdagangan yang tinggi dengan AS]. Insyallah mungkin belum atau tidak jadi sasaran dari yang dilakukan sekarang," ujarnya.

Selain itu, besaran tarif juga berpotensi lebih besar dari yang sebelumnya diproyeksikan hanya 25%. Tarif itu berpotensi meningkat menjadi 30% kepada China; 25% untuk Uni Eropa dan Inggris; dan 10% masing-masing untuk Meksiko, Kanada, Jepang, Korea Selatan dan Vietnam.

"Untuk komoditasnya lebih luas semula besi baja aluminium dan kendaraan bermotor itu dari ekonomi Uni Eropa, Inggris mesin dan elektronik dan bahan kimia dari China, tetapi juga diperluas tidak hanya barang tetapi negara," ujarnya.

"Bacaan kami kendaraan, itu dari ekonomi Uni Eropa dan Inggris, dan juga diperlakukan untuk Meksiko, Jepang, Korea Selatan, dan China. Terus ini juga diperluas komoditasnya, solar panel dari Vietnam. Demikian juga seluruh produk impor dari China."

Kebijakan tersebut, kata Perry, tentu saja bakal berdampak terhadap perlambatan ekonomi dunia serta kenaikan inflasi karena terganggunya rantai pasok karena penerapan tarif. 

Di sisi lain, Bank Indonesia juga belum mengetahui dengan lengkap bagaimana reaksi China terhadap rencana kebijakan yang disampaikan AS. Dengan demikian, ketidakpastian pasar keuangan global makin tinggi dan risiko perlambatan ekonomi makin besar akibat fragmentasi perdagangan.

"Bacaan kami, rencana Kebijakan AS itu, China sudah mengumumkan akan membatasi ekspor ke Amerika Serikat pada 3 Desember untuk produk mineral galium, germanium, dan antimoni untuk bahan-bahan termasuk aplikasi militer, dan juga itu bahan-bahan untuk cip, semikonduktor. Jadi bulan lalu belum ada rencana kebijakan China, sekarang sudah ada retaliasi."

Dampaknya, penurunan suku bunga acuan AS atau Fed Fund Rate pada 2025 berpotensi mundur dari prediksi sebelumnya pada Maret dan Mei masing-masing 25 basis poin atau bps menjadi pada Maret dan Juni dengan prediksi besaran pemangkasan yang sama.

Hal tersebut juga tentu berimplikasi terhadap US Treasury dengan yield 10 tahun yang dipengaruhi rencana kebijakan fiskal pemerintah AS, di mana tahun depan diproyeksikan defisitnya melebar menjadi 7,7%. Walhasil, prospek imbal hasil US Treasury baik dengan yield 2 tahun dan 10 tahun menjadi lebih tinggi.

"Sebagai contoh bahwa kami perkirakan US Treasury yang 2 tahun yang di triwulan IV ini adalah sekitar 4,2% bisa naik menjadi 4,5% pada akhir 2025. Sementara US Treasury yang 10 tahun yang sekarang adalah sekitar 4,3%, ini akan naik bisa menjadi 4,7% pada tahun depan," ujarnya.

"Itu yang dampak yang lain adalah tentu saja dolar index yang sekarang sekitar 106-107, nampaknya ini juga masih akan tinggi."

Di sisi lain, Bank Indonesia meyakini saat ini rupiah secara fundamental tidak hanya stabil, tetapi cenderung menguat.

Pada kesempatan yang sama, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti menggarisbawahi ketidakpastian global tentu berdampak dari sisi pasar keuangan dan sektor riil.

Menurut Destry, dampak paling besar selalu terhadap pasar keuangan, sehingga nilai tukar rupiah bisa menyentuh level Rp16.000 per dolar AS dari sebelumnya diproyeksikan bisa berada di bawah Rp15.000 per dolar AS.

Dalam kaitan itu, upaya Bank Indonesia dalam mengurangi volatilitas adalah memperdalam pasar uang, termasuk valuta asing atau valas.

"Hal yang kita lakukan adalah mengoptimalkan, kita punya yang namanya primary dealers, ada 20 bank kita tunjuk berdasarkan suatu kriteria. Salah satu tujuan primary dealers dalam rangka implementasi operasi moneter yang pro-market," ujarnya.

"Hal yang pertama kita garap adalah selain pasar uang rupiah, juga untuk valas. Contohnya di valas, kita membentuk central counterparty [CCP], satu platform di mana transaksi untuk falas apakah itu DNDF, nantinya juga RIPO itu akan bisa dari platform tersebut."

Destry mengatakan operasi moneter yang pro-market tercermin melalui ukuran rata-rata harian transaksi harian untuk valas. Bila pasarnya makin dalam, maka volatilitasnya makin sedikit.

Sehingga, rupiah secara tahun berjalan atau year to date terdepresiasi 4% atau masih berada di bawah banyak negara.

"Transaksi valas pada 2020 itu masih di bawah US$5 miliar perharinya, entah itu dengan transaksi spot, transaksi DNDF, atau FX swap, atau transaksi forward yang ke depan. Saat ini transaksi sudah mencapai sekitar US$9 hingga US$10 miliar," ujarnya.

(dov/lav)

No more pages