Bloomberg Technoz, Jakarta - Lelang Surat Utang Negara hari ini yang digelar dengan target indikatif mencatat animo pemodal yang cukup besar dibandingkan lelang terakhir dua pekan lalu.
Nilai permintaan yang masuk mencapai Rp28,79 triliun, naik 44% dibandingkan incoming bids dalam lelang SUN 5 September walaupun nilainya lebih kecil bila dibandingkan lelang SBSN pekan lalu.
Pemerintah juga memutuskan menyerap permintaan yang masuk lebih tinggi daripada target indikatif Rp14 triliun dengan memutuskan memenangkan incoming bids sebesar Rp15,8 triliun, jauh lebih besar dibanding lelang-lelang sebelumnya yang selalu di bawah target indikatif.
Pemodal banyak menyerbu tenor panjang FR100 yang mencatat permintaan hingga Rp11,8 triliun, dengan yield tertinggi masuk hingga 6,91%. Pemerintah akhirnya memenangkan sebesar Rp7,85 triliun dengan rata-rata yield dimenangkan di kisaran 6,72% hingga 6,75%.
SUN seri FR0098 tenor 15 tahun juga banyak diminati dengan nilai penawaran masuk mencapai Rp6,04 triliun dengan yield tertinggi masuk mencapai 7,1%. Seri ini diserap sebesar Rp2,05 triliun dengan yield rata-rata di kisaran 6,91%.
Pemerintah lebih besar menyerap untuk SUN tenor panjang 20 tahun FR0097 yang mencatat incoming bids sebesar Rp4,32 triliun. Sementara yang dimenangkan mencapai Rp3,4 triliun dengan tingkat imbal hasil rata-rata 6,93%.
Nilai penyerapan lelang SBN yang lebih tinggi melampaui target dan dibanding rata-rata nilai yang dimenangkan dalam lelang-lelang sebelumnya, adalah yang kedua kali terjadi berturut-turut setelah lelang SBSN pekan lalu menyerap 50% di atas target.
Sempat muncul dugaan agresivitas pemerintah menaikkan nilai penyerapan dalam lelang SBN di tengah rencana pemerintah memangkas target emisi surat utang untuk pembiayaan APBN, adalah terkait kebutuhan menyokong BUMN karya yang tengah terjerat beban utang besar.
Namun, pemerintah membantah hal tersebut. "Dalam pengelolaan kas negara, hasil penerbitan SBN itu masuk ke Rekening Kas Umum Negara. Sama halnya dengan penerimaan negara dari pajak ataupun non-pajak. Jadi tidak ada kaitan secara langsung dengan kebutuhan PNM BUMN. Apalagi kalau melihat data saat ini dengan masih adanya kemungkinan the Fed menaikkan suku bunga acuan, justru akan mendorong suku bunga obligasi global makin tinggi, termasuk transmisinya ke yield obligasi di pasar domestik," jelas Deni Ridwan, Direktur Surat Utang Negara Kementerian Keuangan RI kepada Bloomberg Technoz saat dikonfirmasi terkait spekulasi yang beredar.
Sebagaimana diketahui, dua BUMN karya yaitu PT Waskita Karya Tbk (WSKT) dan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) saat ini tengah menghadapi kemelut utang dengan nilai fantastis.
Waskita, misalnya, sampai semester I-2023 memiliki total kewajiban sebesar Rp84,31 triliun di mana sebesar Rp22,79 triliun adalah kewajiban jangka pendek. Dengan ekuitas cuma Rp12,01 triliun, beban kewajinan itu membuat Debt to Equity Ratio (DER) Waskita terbang tinggi hingga 701% atau 7 kali.
Sementara WIKA mencatat total kewajiban Rp56,7 triliun per semester I-2023 dengan nilai ekuitas Rp15,47 triliun, sehingga rasio utang BUMN ini hampir 4 kali.
Penjelasan terakhir dalam Rapat Kerja Kementerian Keuangan RI bersama Badan Anggaran DPR-RI, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, pemerintah memutuskan menambah nilai PMN kepada BUMN untuk 2024 yang mendapat persetujuan Panja A Badan Anggaran DPR-RI.
Sri Mulyani menyebut, PMN untuk BUMN tahun depan nilainya menjadi Rp30,7 triliun. Angka itu mencatat kenaikan signifikan hingga 65% dibanding nilai semula Rp18,6 triliun.
"Ada kenaikan sebesar Rp12,1 triliun, diperuntukkan untuk perusahaan pelat merah, yakni Hutama Karya (HK) Rp6,1 triliun dan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) Rp6 triliun," jelas Sri Mulyani.
(rui/aji)