Menurutnya, audit lingkungan dan kajian ahli berjalan secara paralel. Hasil audit tersebut nantinya akan menjadi dasar penentuan langkah hukum lanjutan, mulai dari sanksi administrasi, gugatan perdata, hingga pidana apabila ditemukan hubungan kausalitas yang menimbulkan korban jiwa.
“Pengenaan pidana tentu akan kita ambil pada saat kegiatan ini mempunyai pengaruh kausalitas yang kemudian menimbulkan korban jiwa. Ini memang akan kita dekati dengan pidana,” tegasnya.
Hanif memaparkan, progres pengawasan dilakukan berbeda di setiap wilayah. Di Sumatera Utara, proses terhadap unit-unit usaha berskala besar ditargetkan rampung dalam pekan ini. Sementara di Sumatera Barat, tim tengah melakukan verifikasi lapangan terhadap 17 unit usaha dari sekitar 50 entitas yang teridentifikasi, mencakup sektor semen, pertambangan, perumahan, dan perkebunan sawit.
Adapun untuk wilayah Aceh, pengawasan dilakukan secara tidak langsung karena luas wilayah terdampak yang mencapai sekitar 4,9 juta hektare serta keterbatasan akses. Kajian dilakukan secara intensif dengan melibatkan pakar dari berbagai universitas di Indonesia, sebelum dilanjutkan dengan verifikasi lapangan.
Menanggapi pertanyaan terkait bentuk pelanggaran delapan korporasi tersebut, Hanif menegaskan bahwa fokus pemerintah bukan semata pada status perizinan, melainkan pada dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
“Kita tidak membedakan apakah dia berizin atau tidak berizin. Dampaknya yang telah merusak dan menimbulkan korban jiwa itulah yang kita ambil. Meski memiliki izin, jika dalam pelaksanaannya tidak mengikuti kaidah tata lingkungan dan menyebabkan kerusakan serius, maka akan kita tindak,” ujarnya.
(dec/spt)






























