Jaksa menuduh Chen dan Prince Holding Group mencuri dana dari korban penipuan daring jenis “pig butchering” (penipuan berkedok asmara dan investasi) di AS dan sejumlah negara lain, serta mencuci miliaran dolar dana ilegal. Pemerintah AS menyatakan pria berusia 38 tahun tersebut saat ini masih buron.
Tang (32) merupakan satu dari tiga warga negara Singapura yang dikenai sanksi AS pada Oktober lalu karena keterkaitannya dengan Chen, pendiri sekaligus ketua Prince, konglomerasi asal Kamboja.
Menurut Departemen Keuangan AS, Tang merupakan kapten superyacht bernama NONNI II yang dimiliki Chen, serta menjabat sebagai direktur dan kepala operasional Warpcapital Yacht Management Pte, perusahaan yang terdaftar di Singapura. Bloomberg sebelumnya melaporkan, mengutip sumber yang mengetahui persoalan ini, bahwa Chen dan para koleganya kerap menggelar pesta di atas superyacht sepanjang 53 meter tersebut.
Tang juga menjabat sebagai kepala operasional Capital Zone Warehousing Pte, perusahaan Singapura yang dikendalikan Chen dan mengoperasikan gudang bebas pajak untuk impor minuman beralkohol dan produk tembakau.
Tang tidak menanggapi permintaan komentar. Sementara itu, Prince membantah tuduhan keterlibatan dalam praktik penipuan.
Sejak AS mengungkap perkaranya terhadap Chen dan Prince, otoritas Singapura dan sejumlah negara lain meningkatkan penyelidikan mereka terhadap aktivitas grup tersebut.
Pada akhir Oktober, polisi Singapura menyatakan telah menyita atau memblokir penjualan aset senilai lebih dari S$150 juta yang terkait dengan Chen dan para koleganya. Aset tersebut meliputi properti, rekening bank, botol minuman keras, kendaraan, serta sebuah yacht. Saat itu, polisi juga menyebut Chen dan rekan-rekannya yang telah teridentifikasi tidak berada di Singapura.
Rekening Bank
Setidaknya 15 rekening bank termasuk dalam aset yang disita, menurut dokumen pengadilan yang dilihat Bloomberg News.
Empat perusahaan Singapura yang dikendalikan Chen, termasuk family office lokalnya dan Capital Zone Warehousing, bulan lalu mengajukan permohonan ke pengadilan setempat untuk mencairkan sebagian dana dari rekening yang dibekukan. Dana tersebut dimaksudkan untuk membayar gaji karyawan lama dan aktif, serta menutup biaya hukum dan pengeluaran lainnya. Permohonan itu diajukan oleh Karen Chen Xiuling, warga Singapura lain yang juga dikenai sanksi AS, yang menurut dokumen tersebut saat ini berada di Kamboja.
Tim kuasa hukum perusahaan-perusahaan tersebut berargumen bahwa mereka akan menghadapi “konsekuensi serius” jika tidak dapat memenuhi kewajiban kontraktual dan hukum akibat pembekuan dana. Dalam pengajuan terpisah, disebutkan bahwa perusahaan masih harus membayar tunggakan sewa meski telah diusir dari kantor mereka, serta menunggak gaji karyawan yang telah keluar. Saat ini, hanya dua staf yang tersisa, termasuk Karen Chen.
Clarence Lun Yaodong, pengacara yang mewakili empat perusahaan tersebut, Warpcapital Yacht Management, serta Karen Chen, mengatakan kepada Bloomberg bahwa pengadilan telah menggelar sidang atas permohonan tersebut dan akan memutuskan hasilnya.
Menurut dokumen terpisah yang diajukan jaksa, bank terbesar di Malaysia, Malayan Banking Bhd, serta Revolut Ltd yang berbasis di Inggris, menyimpan dana lebih dari US$3,2 juta milik perusahaan-perusahaan yang dikendalikan Chen dan para koleganya.
Selain itu, sejumlah perusahaan juga memiliki rekening di Oversea-Chinese Banking Corp (OCBC) Singapura dan RHB Bank Bhd Malaysia yang telah disita, berdasarkan affidavit yang mendukung permohonan tersebut. Chen juga sebelumnya memiliki rekening di CIMB Group Holdings Bhd Malaysia, yang kini telah ditutup.
OCBC menolak berkomentar, sementara RHB menyatakan tidak dapat memberikan tanggapan karena perkara ini masih dalam penyelidikan kepolisian. Cabang CIMB Singapura menyebutkan tidak memberikan komentar terkait individu atau entitas tertentu. Revolut sebelumnya menyatakan tidak dapat berkomentar lebih lanjut atas perkara yang sedang berjalan di pengadilan. Maybank tidak menanggapi permintaan komentar.
Jaksa Singapura menolak permohonan pencairan dana tersebut. Dalam pengajuan ke pengadilan, mereka menyatakan dana-dana itu “diduga merupakan aset tercemar” yang terkait dengan aktivitas kriminal.
Jaksa juga menyebutkan bahwa Commercial Affairs Department, unit kepolisian yang menangani kejahatan kerah putih, tengah menyelidiki Chen, para kolega utamanya, serta perusahaan-perusahaan terkait. Mereka menambahkan bahwa Karen Chen dan Alan Yeo—warga Singapura lain yang dikenai sanksi AS dan menjabat sebagai CEO family office—tidak menanggapi permintaan untuk dimintai keterangan oleh otoritas.
(bbn)





























