Logo Bloomberg Technoz

Kopi Tuku resmi dibuka pada 2015. Kedainya kecil, hanya cukup untuk beberapa barista dan pelanggan yang antre di luar. Tidak ada acara besar saat peluncurannya, hanya syukuran sederhana dengan tumpeng, melibatkan warga sekitar. Dengan dua karyawan pertama, Tyo mulai mengoperasikan kedai kecil itu sambil terus melakukan banyak penyesuaian.

Konsep kedai yang sederhana dan fokus pada kualitas membuat Tuku cepat diminati. Produk andalan mereka, Kopi Susu Tetangga, menjadi fenomena. Perpaduan espresso, susu, dan gula aren yang seimbang menjadikan menu ini favorit banyak konsumen, bahkan menjadi inspirasi bagi banyak brand kopi sejenis yang muncul setelahnya. Popularitas Kopi Susu Tetangga merekatkan identitas Tuku dengan budaya kopi harian masyarakat Jakarta.

Saat volume pelanggan meningkat, pernah suatu hari kedai Tuku begitu ramai hingga warga sekitar membantu melayani pembeli. Fenomena itu menunjukkan bagaimana Tuku tumbuh sebagai bagian dari ekosistem sosial Cipete. Konsep “tetangga” bukan sekadar jargon menu, tetapi cerminan hubungan emosional antara kedai dan masyarakat sekitar.

Selain di Cipete, Tyo sempat berekspansi ke galeri Ruci Art Senopati. Namun gerai itu tidak bertahan lama dan akhirnya dipindahkan ke Pasar Santa, menyesuaikan dinamika lokasi yang lebih hidup dan dekat dengan segmentasi pasar Tuku.

Momen Jokowi Beli Kopi yang Mengubah Segalanya

Kedai Kopi Tuku (instagram: @tokokopituku)

Nama Tuku mencuat secara nasional ketika Presiden Joko Widodo, saat menjabat periode pertama, membeli Kopi Susu Tetangga di kedai Cipete pada 2017. Momen itu viral dan langsung mengangkat pamor Tuku. Banyak orang penasaran dengan kedai yang dikunjungi Presiden, sehingga antrean pun mengular selama berhari-hari setelah kejadian tersebut.

Meski mendapat sorotan besar, Tyo tetap mempertahankan prinsip kedai yang tidak dibuat berlebihan. Ia menekankan bahwa Tuku bukan brand yang ingin sekadar tampil trendi, tetapi berkomitmen pada produk berkualitas dan pelayanan yang membumi. Prinsip itu menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen, terutama mereka yang jenuh dengan konsep kafe yang terlalu komersial.

Tyo juga sering mengatakan bahwa Jokowi datang tanpa pemberitahuan dan mereka tidak menyiapkan apa pun secara khusus. Keaslian momen itu kemudian menjadi simbol bahwa kopi lokal punya kualitas yang patut diapresiasi. Kejadian tersebut mengukuhkan Tuku sebagai pionir es kopi susu di Indonesia, sekaligus membuka jalan bagi lahirnya tren kopi berbasis gula aren.

Perkembangan Filosofi dan Budaya Kopi dalam Tangan Tyo

Melihat perjalanan Tyo, dapat dipahami bahwa filosofi Kopi Tuku berakar dari upayanya memahami budaya minum kopi masyarakat. Ia pernah tinggal di luar negeri dan di Yogyakarta, melihat tingginya budaya ngopi yang tidak hadir secara kuat di Jakarta. Dari situlah ia merancang Tuku sebagai tempat yang ramah, mudah diakses, dan terasa akrab bagi siapa saja.

Tyo ingin membuat kopi dengan harga yang bersahabat tanpa mengorbankan kualitas bahan baku. Karena itu, ia memilih menggunakan biji kopi lokal dari berbagai daerah di Indonesia, mendukung petani kopi, dan mengembangkan proses roasting yang konsisten. Keterlibatannya dalam riset dan eksplorasi biji kopi menunjukkan komitmennya terhadap kualitas.

Budaya pelayanan di Tuku juga dibentuk dari pengamatannya terhadap kebiasaan pelanggan. Ia mengatur ulang layout, konsep antrean, hingga alur pelayanan agar lebih efisien namun tetap memberi pengalaman komunitas yang hangat. Konsep “kopi untuk tetangga” tidak hanya jargon, tetapi menjadi semangat yang membuat Tuku tetap relevan di tengah persaingan ketat industri kopi.

Kisah Tantangan dan Dinamika Ekspansi

Meski kini dikenal luas, perjalanan Tuku tidak selalu mulus. Tyo pernah membuka gerai di Senopati, tetapi lokasi itu ternyata tidak sesuai ekspektasi. Hanya dalam beberapa bulan, gerai tersebut ditutup dan dipindahkan ke Pasar Santa. Keputusan cepat itu mencerminkan strategi adaptif Tuku: bukan sekadar mengejar lokasi premium, tetapi mencari tempat yang paling cocok dengan identitas brand.

Selain ekspansi fisik, Tuku juga harus menghadapi gelombang kompetitor baru yang mengadopsi konsep es kopi susu dengan gula aren. Namun alih-alih khawatir, Tyo melihat fenomena itu sebagai bukti bahwa kopi lokal semakin diterima dan berkembang. Baginya, semakin banyak kedai kopi lokal yang tumbuh, semakin baik untuk ekosistem kopi Indonesia.

Tuku terus memperkuat sistem operasional, memperluas jaringan roasting, dan mempertahankan standar kualitas untuk setiap gerainya. Banyak pelanggan yang memilih tetap loyal karena konsistensi rasa dan atmosfer “rumahan” yang tidak berubah sejak pertama kali dibuka.

Arti Nama Tuku dan Kedekatannya dengan Konsumen

Kedai Kopi Tuku (instagram: @tokokopituku)

Nama “Tuku” menjadi identitas yang mudah dikenali, terutama bagi masyarakat yang familier dengan bahasa Jawa. Kata itu menggambarkan kesederhanaan tujuan kedai: tempat orang membeli kopi tanpa berlebihan. Filosofi itu juga diterapkan pada menu mereka yang sebagian besar sederhana, fokus pada rasa, dan tidak membingungkan pelanggan.

Sementara nama menu andalannya, “Kopi Susu Tetangga”, terinspirasi dari interaksi Tyo dengan masyarakat sekitar Cipete. Menurut Tyo, pelanggan pertamanya adalah para tetangga, warga yang setiap hari melintasi kedai kecil itu. Keterlibatan komunitas tidak hanya terjadi saat kedai ramai, tetapi juga menjadi bagian dari perjalanan Tuku sejak awal.

Istilah “tetangga” kemudian melekat dan menjadi simbol bahwa Tuku tidak mencoba tampil eksklusif, melainkan inklusif dan dekat dengan keseharian masyarakat. Penggunaan kata tersebut membuat brand ini terasa personal dan membumi.

(seo)

No more pages