Logo Bloomberg Technoz

Syifa menuturkan, uang Rp10 ribu mungkin cukup untuk membeli bahan sederhana seperti bayam dan tempe, tapi itu pun hanya cukup untuk sekali makan, bukan sehari penuh. 

“Ingat, sekali makan, bukan sehari makan. Dan belum tentu semua anggota keluarga suka menu yang sama. Kalau hanya demi ikut tren, malah mubazir karena nggak termakan,” jelasnya. 

Ia menegaskan bahwa setiap rumah tangga memiliki kebutuhan berbeda dan suami seharusnya tidak menjadikan konten viral sebagai tolok ukur kemampuan istrinya.

Lebih lanjut, Syifa menyoroti pentingnya membedakan antara uang belanja rumah tangga dan nafkah untuk istri. 

“Sepengetahuanku, uang nafkah dan uang belanja itu dua hal berbeda. Jadi suami seharusnya punya porsi sendiri untuk kebutuhan rumah dan juga untuk istrinya. Dan kalau ditanya Rp10 ribu cukup nggak buat makan seharian? Ya jelas nggak cukup. Ini bukan soal kurang bersyukur, tapi realita hidup di kota,” ujarnya.

Pandangan serupa disampaikan oleh Zhya, ibu rumah tangga lainnya. Menurutnya, tren semacam ini memperkuat stereotip lama bahwa kesejahteraan rumah tangga sepenuhnya tanggung jawab perempuan. 

“Masyarakat masih menempatkan perempuan sebagai pengelola keuangan utama. Padahal, kalau keluarga bisa bertahan dengan uang terbatas, itu hasil kerja sama, bukan kemampuan satu pihak,” ujarnya.

Zhya menilai, tren tersebut bisa menimbulkan tekanan emosional bagi perempuan. Ketika keluarga tak mampu bertahan dengan uang terbatas, perempuan sering kali disalahkan. 

“Mereka dianggap boros, nggak becus, atau bukan ‘istri yang tepat’. Padahal mengatur keuangan itu kerja emosional yang berat dan tidak diakui,” tambahnya. 

Ia menegaskan bahwa persepsi semacam ini bisa merusak keseimbangan dalam relasi rumah tangga.

Selain persoalan sosial, tren ini juga memunculkan kembali pembahasan tentang makna nafkah. Dalam ajaran Islam maupun norma umum, nafkah tidak diukur dari nominal tertentu, melainkan kecukupan untuk kebutuhan pokok seperti makanan, tempat tinggal, dan kesehatan. 

“Suami bergaji Rp5 juta dan Rp20 juta tentu memberi nafkah berbeda, tapi prinsipnya sama: cukup untuk keluarga. Idealnya, jumlah nafkah disepakati bersama melalui komunikasi terbuka,” jelas Zhya.

Baik Syifa maupun Zhya menilai, uang nafkah seharusnya dibicarakan sebelum menikah agar tidak menimbulkan konflik di kemudian hari. 

“Setiap keluarga punya standar hidup berbeda, jadi nggak bisa disamaratakan. Logikanya, makan sehari aja bisa lebih dari Rp10 ribu. Jadi kalau ada yang bilang itu cukup untuk sekeluarga, rasanya jauh dari kenyataan,” ujar Syifa.

Tren “uang Rp10 ribu di tangan istri yang tepat” memang berawal dari tantangan ringan di TikTok, namun dalam perkembangannya mencerminkan kesenjangan sosial dan persepsi gender dalam keluarga Indonesia.

Di satu sisi, konten ini dianggap inspiratif karena menonjolkan kreativitas perempuan dalam mengatur keuangan. Namun di sisi lain, ia juga memperlihatkan betapa isu ekonomi dan peran domestik perempuan masih sering dijadikan bahan hiburan, bukan bahan refleksi.

(dhf)

No more pages