Fahmy memandang industri pupuk sangat membutuhkan HGBT karena kebijakan tersebut dapat mengefisiensikan anggaran subsidi pupuk.
Dengan begitu, industri penerima HGBT lainnya didorong agar membeli gas dengan harga sesuai mekanisme pasar yang berlaku.
Di luar industri manufaktur, dia menyebut kebijakan HGBT juga diperlukan untuk industri ketenagalistrikan juga agar tarif listrik dan anggaran subsidi tetap terjaga.
“Deregulasi saja itu tadi, serahkan kepada mekanisme pasar, sehingga akan terjadi harga kesimbangan. Itu tidak ada yang dirugikan,” ungkap Fahmy.
“Kalau seperti sekarang, itu kan PGN jelas dirugikan, kemudian juga produsen gas di hulu itu dirugikan, pemerintah juga dirugikan,” lanjutnya.
Beban PGAS
Menurut Fahmy, PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. (PGAS) atau PGN harus menanggung beban tambahan akibat menjalankan kebijakan HGBT.
Dia menilai biaya operasional dan perawatan pipa gas yang dikeluarkan PGN tidak sebanding dengan margin keuntungan dari penyaluran gas HGBT.
Untuk itu, tudingan turunnya pasokan HGBT yang disalurkan PGAS beberapa waktu lalu diprediksi terjadi akibat ketatnya selisih keuntungan yang didapatkan PGN dengan biaya penyaluran. Penyebabnya, pasokan gas dari produsen di industri hulu gas terbilang masih cukup besar.
“Jadi kalau PGN sekarang ini mengurangi pasokan, itu karena harus nanggung biaya [operasional] yang cukup tinggi,” tegas dia.
Untuk diketahui, PGN mengakui memang telah terjadi penurunan penyaluran volume gas bumi ke industri penerima program HGBT.
Menurut perseroan, hal tersebut dipicu turunnya volume pasokan dari hulu gas yang disebabkan pemeliharaan tidak terencana di beberapa pemasok. Selain itu, korporasi mengklaim beberapa rencana tambahan gas masih dalam proses.
Corporate Secretary PGN Fajriyah Usman menyatakan persoalan tersebut membuat perusahaan melakukan langkah pengendalian pemakaian gas secara terukur untuk memastikan keamanan dan keandalan operasional jaringan pipa.
“Volume gas bumi yang diterima pelanggan HGBT sangat bergantung pada ketersediaan pasokan dari lapangan pemasok di hulu,” kata Fajriyah kepada Bloomberg Technoz, Selasa (19/8/2025).
Adapun, Fajriyah juga berjanji perusahaan terus berkomitmen menjalankan ketentuan HGBT sesuai ketentuan yang berlaku, yakni menjual gas bumi sebesar US$6,5—US$7 per MMBtu kepada tujuh sektor industri a.l. pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Sebelumnya, terdapat laporan penurunan volume pasokan gas dari KKKS pada bulan ini. Kondisi tersebut berdampak pada penyaluran gas sementara waktu ke sebagian pelanggan di wilayah Jawa Barat.
Adapun, PGAS melaporkan perseroan kekurangan sekitar 6 kargo LNG untuk memenuhi kebutuhan sampai akhir tahun ini. Perseroan memproyeksikan kebutuhan LNG untuk pelanggan sepanjang tahun ini mencapai 12 kargo.
Di sisi lain, Kementerian Perindustrian turut menyoroti soal pengetatan penerapan HGBT yang menjadi keluhan serius pelaku industri.
Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arief mengatakan kebijakan HGBT merupakan keputusan Presiden, sehingga tak seharusnya pihak atau lembaga yang mencoba menaikkan harga atau membatasi pasokan.
“Seolah-olah ini menjadi masalah klasik yang berulang, padahal HGBT adalah keputusan Presiden, yang sudah menetapkan baik harga US$6,5/MMBtu dan kebelanjutan pasokannya. Tidak seharusnya ada pihak atau lembaga yang mencoba melakukan subordinasi terhadap perintah Presiden tersebut dalam bentuk menaikkan harga di atas US$6,5 dan membatasi pasokannya,” kata Febri dalam keterangannya, akhir pekan lalu.
Dia mengklaim pengetatan pasokan gas dengan harga khusus akan berimbas terhadap keberlangsungan industri manufaktur. Terlebih, gangguan suplai dan tingginya surcharge (biaya tambahan) gas, seperti tarif yang dikenakan PT PGN sebesar US$16,77/MMBtu akan memberatkan pelaku usaha.
(azr/wdh)






























