Airlangga menjelaskan, rencana ini masih dalam tahap pembahasan internal pemerintah. Dia menegaskan, mekanisme baru akan disosialisasikan terlebih dahulu sebelum diterapkan.
“Sekarang masih dalam penggodokan. Pada waktunya akan disosialisasikan ke masyarakat sebelum dilaksanakan,” ujarnya.
Menurut Airlangga, pembaruan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) menjadi kunci penerapan skema ini. Data tersebut memperlihatkan masih adanya kebocoran subsidi akibat sifat penyaluran yang terbuka.
“Ke depan kita cari mekanisme pengguna. Dengan DTSEN, kita bisa melihat kebocoran subsidi. Maka penyaluran diarahkan supaya lebih tepat sasaran,” jelasnya.
Belanja Subsidi Energi RAPBN 2026 Lompat 14,52%
Sebelumnya, pemerintah menyusun anggaran subsidi energi mencapai Rp210,1 triliun pada rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) 2026.
Hitung-hitungan belanja subsidi energi pada rancangan APBN 2026 itu naik 14,52% dibandingkan dengan outlook belanja subsidi pada APBN 2025 sebesar Rp183,9 triliun.
Adapun, rincian subsidi energi itu berasal dari komponen belanja Jenis BBM Tertentu dan LPG Tabung 3 kilogram sebesar Rp105,4 triliun dan listrik sebesar Rp104,6 triliun.
Anggaran subsidi Jenis BBM Tertentu dan LPG Tabung 3 kilogram itu naik 11,2% dari outlook tahun anggaran 2025 sebesar Rp94,79 triliun.
Ihwal belanja subsidi ini, pemerintah bakal mendorong upaya transformasi subsidi tabung gas melon itu tepat sasaran lewat pendataan terintegrasi keluarga penerima manfaat.
“Pengguna LPG Tabung 3 kilogram adalah pengguna yang telah terdata dan tercantum dalam DTSEN,” seperti dikutip dari Buku II Nota Keuangan, Jumat. (15/8/2025).
Sementara itu, perhitungan anggaran subsidi jenis BBM Tertentu dan LPG Tabung 3 kilogram tahun 2026 menggunakan asumsi kurs dan subsidi tetap minyak solar Rp1.000 per liter. Adapun, volume BBM jenis solar dipatok sebesar 18,63 juta kiloliter dan minyak tanah sebesar 526.000 kiloliter.
Di sisi lain, anggaran subsidi listrik turut mengalami kenaikan sebesar 17,5% dari posisi outlook APBN 2025 sebesar Rp89,07 triliun.
Peningkatan alokasi ini disebabkan karena naiknya biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik serta peningkatan volume listrik bersubsidi.
(rtd/naw)

































