Sebagai pekerja seni, Endiarto merasa terpanggil untuk membuat karya melalui film untuk bangsa dan mulai menggali ide hingga karakternya.
"Nah, sejak itu kita mulai menggali ide, judul, kurang lebih narasinya seperti apa, tokohnya gimana, lokasinya kayak apa, alamnya dan sebagainya itu sudah mulai Agustus terus berjalan, berjalan, berjalan sampai di bulan Mei kita selesai semua materi dan kita mulai jahit," urainya.
"Di akhir Mei, itulah kurang lebih 2,5 bulan, itu namanya post pro. Jadi bukan produksi. Lalu produksinya mulai dari ide di Agustus 2024," sambungnya.
Dalam proses pembuatan film animasi ini, diakui Endiarto memang hal biasa menemui kendala. Seperti mencocokan pergantian tokoh atau latar tempat dan waktu.
"Nah itu yang kita terus revisi berkali-kali sampai cocok. Kemudian juga karakter dan sebagainya. Dalam perjalanan kayaknya begini, itu ada perubahan-perubahan. Jadi normatif saja sih kendala bagian post pro produksi dan sebagainya," katanya.
Perdebatan soal film ini mencuat di media sosial setelah cuplikan dan potongan adegannya viral, memicu perbincangan luas mengenai kualitas animasi, alur cerita, hingga orisinalitas aset yang digunakan.
Sebagian warganet memberikan kritik tajam, sementara lainnya memuji keberanian produksi animasi nasional berskala layar lebar.
Produser Merah Putih: One For All Toto Soegriwo membantah tudingan yang menyebut produksi film animasi senilai Rp6,7 miliar itu mendapat sokongan dana pemerintah.
Ia menegaskan tidak pernah menerima dana sepeserpun dari pemerintah, apalagi melakukan tindakan korupsi. Toto menyebut isu yang beredar di media sosial itu tidak berdasar dan telah berdampak pada keluarganya, sehingga meminta publik menghentikan penyebaran informasi yang keliru.
(dec/spt)































