“Nanti begitu yang dari pengembang untuk masuk ke perizinan. Terus Kementerian ESDM melakukan verifikasi. Untuk syarat kelayakan ekonomi itu pas dengan harga listrik berapa,” tuturnya.
Belakangan, Kementerian ESDM memastikan pemenang lelang PLTSa akan otomatis mendapat perjanjian jual beli listrik (PJBL) dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN.
Kepastian PJBL itu menjadi terobosan baru yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan investasi pada proyek PLTSa sembari mengurangi tumpukan sampah di sejumlah daerah.
“Karena kasus sampah ini darurat nih, kita melakukan model terobosan kalau di situ dimenangkan lelangnya otomatis dapat PJBL, langsung ada direct ini,” kata Eniya.
Muatan kepastian PJBL dengan perusahaan setrum negara itu menjadi bagian dari revisi Pepres Nomor 35 Tahun 2018 Tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.
Sampai dengan Semester I-2025, PLN telah menadantangani PJBL untuk PLTSa Palembang, PLTSa Sunter, PLTSa Surabaya dan PLTSa Surakarta.
Hanya 2 PJBL yang telah beroperasi di antaranya PLTSa Putri Cempo di Solo berkapasitas 5 megawatt (MW) dan PLTSa Benowo di Surabaya berkapasitas 9 MW.
Adapun, PLTSa Putri Cempo memiliki tarif listrik US$13,35 sen per kWh dengan kebutuhan sampah mencapai 400 ton per hari. Sementara itu, PLTSa Benowo memiliki tarif listrik US$13,35 sen per kWh dengan kebutuhan sampah 1.000 ton per hari.
Saat ini, PLN tengah memantau konstruksi untuk PTSa Palembang dengan kapasitas setrum 17,7 MW. Pembangkit sampah ini memiliki tarif US$13,35 sen per kWh dengan kebutuhan sampah 1.000 ton per hari.
Di sisi lain, PLTSa Sunter di Jakarta Utara masih mencari pendanaan. Proyek ini memiliki kapasitas setrum 35 MW dengan tarif US$11,8 sen per kWh. PLTSa Sunter ditargetkan bisa menyerap 2.000 ton sampah setiap harinya.
(azr/naw)































