Logo Bloomberg Technoz

Analis Algoresearch, Alvin Baramuli, menilai kenaikan harga kedua saham tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan kekuatan kinerja. 

Memang, DCII menunjukkan pertumbuhan yang kuat dan relatif mengungguli sebagian besar saham berkapitalisasi besar lain di IHSG. Namun, valuasinya sudah melambung tinggi. Rasio harga terhadap penjualan (PS) mencapai 309 kali dan rasio harga terhadap laba (PER) tembus 642 kali. Angka ini jauh melampaui raksasa teknologi global seperti Nvidia (PER 55x), Amazon (PER 37x), atau Google (PER 20x).

Kemudian, DSSA memiliki valuasi lebih rendah ketimbang DCII yakni 38 kali PS dan 88 kali PER, namun pertumbuhan pendapatan dan laba bersihnya justru menyusut dalam dua tahun terakhir. Aksi korporasi seperti pemecahan saham dan buyback disebut lebih berperan dalam mengerek harga saham DSSA sejak 2023. DCII juga dikabarkan tengah merancang aksi serupa, meski belum ada konfirmasi resmi.

“Di luar itu, prospek masuknya kedua saham tersebut ke dalam indeks MSCI karena kapitalisasi pasar free float yang besar, juga disebut sebagai faktor pendorong kenaikan harga belakangan ini. Pola ini mirip strategi permainan indeks yang sebelumnya dijalankan Barito Group,” kata Alvin dalam risetnya, dikutip Selasa (5/8/2025).

Hingga perdagangan hari ini, saham DCII berada di level Rp346.725/saham atau naik 723,57% sepanjang tahun yang menjadikannya saham termahal di BEI. Hingga saat ini, Bursa masih menghentikan perdagangan sahamnya, namun lonjakan harga membuat kapitalisasi pasar DCII melambung hingga ke Rp825,50 triliun.

Sementara itu DSSA sendiri sempat dinobatkan sebagai saham termahal sebelum aksi stock split dilakukan. Saat ini DSSA parkir di posisi Rp66.025/saham atau naik 78,45% secara ytd. Kapitalisasi pasar DSSA sendiri berada di Rp508,56 triliun.

Hanya 53% Emiten Catat Peningkatan Laba

Pada perkembangan lain, kenaikan IHSG justru kontras dengan performa fundamental sebagian besar emiten. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, hingga awal Agustus 2025, sekitar 800 emiten telah menyampaikan laporan keuangan semester I/2025, namun baru 53% yang mencatatkan peningkatan laba dibanding periode sama tahun lalu.

Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi, mengatakan bahwa hingga awal Agustus 2025, lebih dari 800 emiten telah menyampaikan laporan keuangan tengah tahunan mereka.

“Dari data yang telah masuk, 74% di antaranya membukukan laba, dan 53% menunjukkan peningkatan laba,” ujarnya dalam konferensi pers Rapat Dewan Komisioner Bulanan, Senin (4/8/2025).

Dari laporan secara agregat laba bersih di semester pertama 2025 tumbuh 21,2% year-on-year. Pertumbuhan tersebut banyak ditopang sektor basic materials, consumer cyclicals, dan technology.

Namun, kinerja sektor energi masih tertekan seiring pelemahan harga komoditas sejak kuartal pertama 2025, sehingga tidak menjadi pendorong positif bagi IHSG.

(dhf)

No more pages