Misalnya, produsen kendaraan roda dua listrik terbesar di China — Yadea, Luyuan, dan Sunra — yang semuanya telah merilis model bertenaga SiB dalam beberapa tahun terakhir.
Yadea juga mengekspor dan memiliki fasilitas produksi di, Vietnam, Indonesia, dan Thailand. Ketiga pasar Asia Tenggara tersebut sensitif terhadap harga dengan permintaan yang signifikan untuk motor litrik.
“Contoh keunggulan harga SiB berasal dari unit bertenaga natrium Yadea yang dibanderol sekitar CNY2.866—CNY4.729 [US$400—US$660] di China,” tulis BMI.
Harga ini berada dalam kisaran harga baterai lithium ferro phosphate (LFP) dan kendaraan internal combustion engine (ICE), meskipun dua baterai terakhir merupakan teknologi yang lebih matang dengan rantai pasok yang mapan.
“Kami memperkirakan produsen baterai EV terkemuka di industri yang berinvestasi pada SiB akan menekan biaya SiB ini dalam jangka menengah. Akibatnya, EV itu sendiri akan lebih terjangkau daripada ICE dan baterai ion litium,” kata BMI.
Makin Laris
Salah satu contoh investasi baterai SiB oleh para pemimpin industri adalah CATL, yang mengumumkan baterai Naxtra berbasis natrium untuk EV penumpang, dengan jangkauan 500 km—yang sebanding dengan baterai LFP — dan siklus hidup yang panjang.
Sementara itu, BYD telah memulai pembangunan pabrik manufaktur SiB berkapasitas 30 GWh di Xuzhou, China Daratan.
Perkembangan ini, termasuk JAC yang memproduksi EV tingkat pemula bertenaga natrium pertama, memposisikan produsen mobil China untuk memimpin produksi EV penumpang bermotor SiB.
Produksi kendaraan bertenaga baterai SiB juga mulai meningkat di kalangan produsen motor listrik India.
Dengan lebih dari 200 produsen kendaraan roda dua listrik yang saat ini aktif di pasar, persaingan yang ketat akan menjadi pendorong utama produksi EV bertenaga SiB di pasar Negeri Bollywood.
Selain itu, fokus Pemerintah India untuk meningkatkan kemandirian energi kemungkinan akan memotivasi investasi lebih lanjut dalam manufaktur EV bertenaga SiB.
Hal ini karena rantai pasokan hulu untuk baterai SiB di India sebagian besar tidak ketergantungan dari perusahaan China, yang memungkinkan produsen dalam negeri untuk mengurangi dependensi mereka pada pasar tunggal mengingat meningkatnya jumlah perselisihan perdagangan dan geopolitik.
Contoh awal dari adopsi ini datang dari produsen kendaraan roda dua listrik India, Jitendra New EV Tech, yang telah mengumumkan rencana untuk merilis skuter listrik bertenaga SiB, dengan produksi dijadwalkan untuk 2026.
Harga motor listrik bertenaga SiB yang lebih rendah juga akan menjadi fitur yang menarik bagi wilayah Afrika, di mana lebih dari 80% kendaraan roda dua/tiga digunakan untuk kegiatan komersial.
Untuk itu, permintaan untuk kendaraan listrik ini akan didorong oleh kebutuhan untuk meningkatkan margin keuntungan melalui biaya pembelian dan pemeliharaan yang lebih rendah, dan kecepatan pengisian daya yang lebih cepat yang ditawarkan oleh SiB.
Makin populernya baterai SiB juga menawarkan peluang strategis bagi OEM lama untuk menjadi lebih kompetitif di pasar yang telah didominasi oleh produsen mobil China.
Produsen di Amerika Utara dan Eropa dapat memanfaatkan biaya natrium yang lebih rendah untuk meningkatkan paritas harga dengan kendaraan berbahan bakar bensin.
Hal ini khususnya penting bagi pasar seperti AS dan Eropa, di mana sebagian besar kendaraan listrik baterai yang dijual di pasar tersebut dijual dengan harga lebih dari US$50.000 (44% di Eropa dan 63% di AS), sementara lebih dari 40% kendaraan berbahan bakar bensin dihargai di bawah US$40.000 di masing-masing pasar.
Plus Minus
Untuk diketahui, penelitian dan pengembangan baterai berbasis sodium dalam beberapa tahun terakhir digadang-gadang berpotensi menggeser popularitas litium, yang sampai sekarang masih menjadi bahan utama paling banyak dipakai untuk penyimpanan energi dalam baterai EV.
Selain lebih mudah didapatkan, bahan baku senyawa garam ini memiliki harga yang lebih ekonomis dibandingkan dengan baterai litium yang juga membutuhkan mineral logam lain seperti kobalt dan nikel.
Akan tetapi, sodium diklaim memiliki kepadatan sel (battery cell) – yang digunakan untuk menyimpan energi – jauh lebih rendah dibandingkan dengan litium.
Rata-rata sel sodium yang digunakan untuk baterai memiliki 5.000 siklus, atau masih cukup rendah dibandingkan dengan litium dengan sekitar 7.500 siklus untuk produk yang paling 'hemat biaya'.
Sejak mulai digunakan lebih dari 3 dekade lalu, baterai litium memang memiliki kinerja yang baik dalam menyimpan energi.
Baterai litium menggunakan material anoda, yang terbukti memiliki kepadatan energi yang lebih tinggi, yang bisa memengaruhi kapasitas dan kestabilan baterai dibandingkan dengan baterai sejenis lainnya.
Baterai ion litium juga cenderung memiliki umur siklus hidup yang lebih panjang dibandingkan dengan jenis baterai lainnya. Siklus hidup baterai ini mengacu pada beberapa kali baterai dapat diisi ulang hingga memengaruhi penurunan kapasitas.
Namun, baterai litium ini juga memiliki beberapa kekurangan, di antaranya elektrolit yang digunakan sangat mudah terbakar. Jika terlalu panas, kemungkinan besar bisa menyebabkan kebakaran skala kecil.
Lalu, perlindungan baterai. Baterai litium relatif kurang kuat dibandingkan dengan baterai isi ulang lainnya.
Dengan demikian, litium membutuhkan perlindungan dari pengisian daya yang berlebihan, panas berlebih, dan pengosongan total.
Litium juga membutuhkan sirkuit pelindung untuk menjaga arus dan tegangan dalam standar dan batas yang aman.
Baterai litium juga cenderung berbiaya tinggi lantaran ongkos produksi dan bahan bakunya juga mahal, yang harus diekstraksi dari pertambangan mineral.
Northvolt AB dari Swedia pernah menyatakan telah membuat terobosan dalam teknologi ini, sementara pembuat kendaraan listrik asal China, BYD Co, juga menandatangani kesepakatan untuk membangun pabrik baterai sodium-ion senilai US$1,4 miliar.
Raksasa baterai China, CATL, pun telah mengatakan pada April 2023 bahwa baterai berbasis natrium atau senyawa garam akan mulai digunakan di beberapa kendaraan mulai tahun tersebut.
“Ini adalah investasi yang serius. Hal ini meningkatkan kepercayaan diri mereka dengan mengatakan bahwa kami berada di sini untuk terus meningkatkan kapasitas guna mengkomersialkan teknologi ini,” kata Rory McNulty, analis riset senior di Benchmark Mineral Intelligence.
Jika produk natrium terbukti berhasil, baterai SiB dapat membatasi konsumsi litium. Hal ini juga merupakan pengingat akan bahayanya upaya memperkirakan penggunaan logam dalam industri yang terus berkembang karena perusahaan mencari sel yang lebih murah dan efisien.
Riset BloombergNEF mengatakan natrium akan mengurangi sekitar 272.000 ton permintaan litium pada 2035, atau lebih dari 1 juta ton jika pasokan litium tidak dapat memenuhi penggunaan.
“Perubahan pada campuran logam dalam baterai telah mengubah prospek penawaran dan permintaan serta menurunkan harga [komoditas logam]. Kobalt dan nikel – yang beberapa tahun lalu terlihat menghadapi kekurangan jangka panjang – perkiraan permintaannya direvisi karena munculnya sel-sel yang tidak menggunakannya.Dan potensi perubahan harga yang besar terutama terlihat pada litium,” papar riset itu.
(wdh)






























